09 June 2019

Tutup Botol

Tutup Botol 
     Sehabis olahraga, aku dan Nida pergi ke kantin. Ingin membeli minuman juga makanannya.
“Nid, kamu mau beli apa?” mataku melihat sekitaran kantin sambil berjalan Bersama Nida.
“Beli apa,ya?” Nida diam sejenak. “Kamu sih mau apa?”
“Hm….. aku pengen otak-otak deh. Kamu apa?”
“Akuu mau baso.”
“Ya udah, aku kesana, ya?” Telunjuk kananku mengarah ke tukang otak-otak berada.
“Iya”
    
     Selang waktu, aku keluar dari kerumunan siswa yang membeli otak-otak. Lalu melangkah menuju toko alat tulis pak Wahid yang menyatu dengan kantin.
"Hmm” Mataku mencari-cari minuman yang ingin kubeli. Tapi karena uangku selembaran lima puluh ribu, mana mungkin aku hanya membeli segelas air putih? Akhirnya kuputuskan untuk membeli sebotol Pulpy Orange.
“Pak, ini berapa?”
“Enam ribu” jawab penjaga toko tersebut yang juga sebagai guruku.
     Aku mengeluarkan uang dari saku celana olahragaku. Lalu memberikannya pada pak Wahid.
“Nid, kamu mau beli apa lagi?” tanyaku begitu melihat Nida muncul dari sekerumunan siswa perempuan.
“Beli minum”
“Aku mau bayar otak-otak dulu, ya?” kataku setelah menerima kembalian sebesar empat puluh empat ribu dari pak Wahid.
“Kenapa?”
“Tadi gak ada receh”
“Oh iya”

     Di kelas, aku dan Nida hendak menyantap makanan yang tadi dibeli. Tapi, aku kesulitan untuk membuka tutup botol Pulpy Orange. Susah banget, sih, ucapku dalam hati sambil terus berusaha ingin membuka tutup botol itu. Namun sia-sia. Tutup botol itu terlalu sulit diputar, apalagi dibuka. Akhirnya, kuputuskan untuk menunda minumku dulu. Dan menaruh minumanku di atas meja kayu tempatku belajar.

     Singkat waktu, aku selesai menyantap makananku. Tanpa minum sebelumnya. Aku kembali mengambil pulpy orange-ku. Dan kembali berusaha membuka tutup botol minumanku. Namun lagi-lagi, sia-sia.
“Bisa gak, Bib?” Tanya Nida yang melihatku kesulitan membuka tutup botol sedari tadi.
“Susah, Nid” keluhku. “Kamu bisa, gak?”
“Sini aku cobain” Nida mengambil minumanku, dan mencoba membukanya. Tangannya mengambil kain kerudung yang terulur didepan dadanya. Lalu kembali membuka tutup botol minumanku dengan tangan dan kain kerudungnya. “Gak bisa, Bib. Coba ke cowo tuh”
“Yah..” aku kembali mengeluh. Mataku mengarah ke Bukhori dan Ali yang duduk di bangku sebelah bagian belakang. Ah, malu. Ya, begitulah aku. Jarang berinteraksi dengan lelaki. Sehingga minta tolong hal sepele pun, harus pikir-pikir dulu. Mataku mengarah ke depan sekarang. Ada Marsella yang sedang duduk tepat di depan bangku tempatku duduk.
“Sel, punten sih bukain” aku menyodorkan minumanku di depannya.
“Sini” Marsella mencoba membuka tutup botol minumanku. Namun hasilnya, nihil. Tak berhasil juga.
“Bisa, gak?” tanyaku.
“Ngga. Susah, Bib” Marsella menyerah.
“Ya udah, makasih”

     Marsella mengangguk. Aku mendengus kesal. Lalu mencoba dengan hal lain. Mengambil jarum yang tersemat di kedua uluran kerudungku, dan berusaha memutuskan tiang-tiang kecil yang ada pada tutup botol. Berharap keajaiban terjadi dan aku bisa meneguk pulpy-ku. Namun setelah perjuangan yang cukup melelahkan dan tutup botol belum bisa terbuka juga, aku memutuskan untuk menundanya.  Mataku melirik ke arah minuman Nida yang ada di atas meja. Kehausan. Lalu melirik ke arah Nida yang fokus memainkan handphonenya.

“Nid, minta minum, sih” aku memohon.
“Sok” jawabnya singkat. Kedua matanya masih menghadap pada handphonenya. Aku mengambil botol kemasan air minum itu. Lalu membuka tutupnya dan meneguk sedikit airnya.
“Makasih” aku kembali menaruh botol minum Nida di atas meja.
“Iya” Nida mengangguk.

Pergantian pelajaran terakhir.

“Ada bu Kunani” ucap salah seorang temanku, memasuki kelas dengan sedikit tergesa-gesa.
Spontan, anak kelas langsung berpindah tempat duduk. Mencari anggota kelompoknya masing-masing dan duduk perkelompok. Aku mengambil LKS dan buku tulis ekonomiku. Tak lupa, serta pulpen. Lalu mencari keberadaan anggota kelompokku.
“Marsella, dimana?”
“Sana, Habibah. Tempat biasa”
“Oke”
     Aku berjalan mengikuti Marsella untuk duduk berkelompok. Beserta Ain, Ilfa, Ilmi dan Ika. Meninggalkan sebotol pulpy orange-ku di atas meja tempatku biasa belajar.

Selesai pelajaran terakhir.
“Ye.. akhirnya selesai juga. Bu Kunani lama banget. Kayaknya kelas kita paling akhir deh pulangnya” ucapku setelah menguap. “Mana aku piket lagi”Aku mengambil sapu dibelakang kelas. Dan menyapu lantai kelas bersama beberapa temanku yang sadar dan tidak kabur.
“Selesai” aku menaruh sapu di tempatnya kembali. Lalu mengambil tas gendongku di meja kedua dari belakang, tempatku biasa belajar bersama Nida setiap harinya. Tak lupa, pulpy orange-ku yang masih tertutup rapat.
“Zuhair, bukain sih” aku menyodorkan botol pulpy orange itu di depan Zuhair yang sedang membereskan tasnya di meja paling belakang.
Zuhair menerimanya. Lalu dengan mudah membukanya. “Ih, gampang sih?”
“Masa? Orang tadi belum dibuka”
“Beneran”
“Ya udah lah, makasih”
“Sama-sama”

Keesokan harinya.
     Aku menyilangkan kedua kakiku diatas kursi semen, berhadapan dengan Nida yang juga menyilangkan kedua kakinya. Menunggu giliran latihan menari, sementara anak cowo sedang latihan dipandu Eva dan Aw(baca: Awe) didalam GOR.
“Habibah, kemarin teh minum kamu dibuka sama siapa?”
“Sama Zuhair, pas pulang sekolah. Tapi kok, dia bukanya gampang banget, ya Nid? Pas aku minta tolong teh gampang pisan dia bukanya”
“Haha” Nida tertawa kecil. “Itu teh ya, Habibah, udah dibuka sama Bagus”
“Sama Bagus? Kok bisa?” tanyaku tambah heran.
“Kan pas pelajaran ekonomi, si Bagus teh sekelompok sama aku. Terus kan, duduknya deket bangku kita ya, aku minta tolong ke Bagus. Bagus, bisa bukain pulpy itu gak? Ini? Iya. Diliat weh sama si Bagus teh. Ini sih udah dibuka, Nid. Kata Bagusnya. Belum, ih. Eh, terus teh iya weh dibuka sama Bagus”
“Ih atuhlah, malu aku.”
“Berarti Bagus duluan ya, yang bukain”
“Iya, ih. Pantesan weh si Zuhair teh ni gampang pisan bukanya”

     Omong-omong soal Nida, dia adalah temanku yang kukenali sejak kelas 7 dulu. Namun, teman hanya teman. Sebatas perkenalan dan tidak begitu dekat. Namun di kelas 12, kebetulan aku ditakdirkan untuk sekelas kembali bersamanya setelah sekelas juga di kelas 10. Dan berhubung aku belum punya teman sebangku saat pertama masuk kelas 12, aku menawarkan Nida untuk sebangku denganku. Alhasil, aku baru tahu aku punya kesamaan sama dia. Sama –sama pendiam dan sama-sama gak bisa buka tutup botol. Makanya kalau sesekali Nida beli air minum botol kemasan dan dia bisa buka tutup botolnya sendiri aja, itu suatu kesenangan bagi dirinya. Juga, bagi diriku.
Previous Post
First

post written by:

0 Comments: