06 September 2020

Melamar 4 : Berjumpa

Melamar 4 : Berjumpa 

Aku berjalan bersama seorang wanita yang kini telah menjadi istriku. Azizah Rahayu. Gadis yang dahulu hanya berstatus sebagai saudara sepupu, namun telah aku incar diam-diam sejak empat tahun yang lalu. Alhamdulillah. Akhirnya dia menerima pinanganku. Meski pada hari itu aku sempat tak percaya diri lantaran mendengar dia telah memiliki kekasih. Namun jujur, hal itu masih membuatku bertanya-tanya. Jika pada hari itu orangtuanya berkata ia telah memiliki kekasih, tapi mengapa ia menerima pinanganku secara tiba-tiba?

“Kak Badrun! Kak Laras!” sapa istriku pada sepasang pengantin yang kami hadiri acara pernikahannya. Seraya bersalaman dengan menelungkupkan kedua tangan di depan dada pada mempelai pria dan bersalaman cipika-cipiki pada mempelai wanita. Diikuti denganku yang berjabat tangan pada mempelai pria dan menelungkupkan kedua tangan pada mempelai wanita.

“Selamat ya atas pernikahan kalian. Aku ikut senang”

“Terima kasih, Azizah. Terima kasih juga sudah menepati janji untuk datang ke pernikahan kami.”

“Sama-sama, Kak Badrun. Lagian juga kenapa gak datang, sih? Gak ada acara penting lain. Haha.”

Azizah tertawa pelan sesaat.

“Oya, Kak Badrun, Kak Laras, kenalin ini suami aku. A Akbar”

Azizah memperkenalkan aku pada kedua mempelai yang dipanggilnya dengan sebutan Badrun dan Laras. Sedangkan aku hanya tersenyum ramah menanggapi perkenalan itu.

“Loh, kamu udah nikah, Zah? Bukannya baru lamaran?” tanya Badrun yang rupanya sudah mengetahui bahwa Azizah sempat dilamar sebelumnya. Tapi jujur, aku rasa ada yang janggal dengan pertanyaannya. Kenapa dia tau tentang lamaran Azizah? 

“Sehari setelah lamaran, saya langsung menikahinya atas pernikahan Azizah sendiri. Itupun, hanya acara sederhana. Dihadiri oleh keluarga saya dan Azizah saja” aku memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan Badrun.

“Hehe. Iya, Kak” Azizah membenarkan perkataanku dengan ekspresi yang tersipu malu. “Tapi, kita bakal adain acara resepsi, kok. Dua minggu lagi. Tepat anniversary pernikahan satu bulan”

Kemudian, Azizah mengambil sebuah kertas undangan resepsi pernikahan kami yang telah disiapkan sebelumnya. Untuk diberikan pada pasangan baru tiga jam tersebut.

“Ini undangannya. Kak Badrun sama Kak Laras datang, ya”

“Insya Allah, Azizah. Kita bakal usahain buat datang ke resepsi kamu dan A Akbar. Iya kan, Laras?” Badrun meminta persetujuan kepada istrinya.

“Iyalah, Kak” jawab Laras pada Badrun dengan panggilan ‘Kak’. “Kamu tenang aja, Azizah. Aku bakal ingetin Kak Badrun kok buat datang ke acara resepsi kamu.”

“Haha. Makasih, Kak Laras”


Sepulangnya kami dari acara pernikahan Badrun dan Laras, pikiranku masih saja diliputi penasaran mengenai pertanyaan yang dilontarkan Badrun. Kenapa dia bisa tau?

“Zah” panggilku pada Azizah sembari terus fokus menyetir.

“Apa, A?”

“Aa boleh nanya?”

“Nanya apa, A? Nanya aja.”

“Badrun itu siapa?”

Azizah terdiam sejenak. Entah apa yang ada dalam pikirannya.

“Teman.”

“Yakin teman?”

“Iyalah, A. Terus apa lagi?”

“Kok dia tau soal lamaran kamu? Kamu nggak ketemu siapa-siapa kan antara waktu aku ngelamar kamu dan kita nikah?” tanya penasaran. Karena memang jujur, pertanyaan itu terus mengganjal pikiranku. Ditambah lagi, pesepeda motor yang kulihat tempo lalu ketika melamar Azizah. Apa dia, Badrun?

“Cuma teman, A”

“Azizah, jujur sama Aa”

Azizah kembali terdiam. Kemudian kembali bersuara untuk menjawab pertanyaanku sebelumnya.

“Teman dekat”

Aku menghela nafas panjang.

“Oke, teman dekat. Kamu sedekat apa sama Kak Badrun?”

“Ya, teman dekat aja gimana, A. Suka saling cerita.”

“Terus, kamu sempat cerita sama Badrun kalau kamu abis dilamar?”

“Iya. Lagian kan, sekarang mah udah canggih atuh, A. Aku bisa cerita sama Kak Badrun lewat WA. Gak harus ketemu.”

“Bener? Bukan Badrun yang datang ke rumah kamu?”

Azizah terdiam seketika. Pandangannya dialihkan ke jendela kaca mobil disampingnya. Entah benar-benar melihat jalanan, atau justru memikirkan pertanyaan yang kulontarkan.

Aku harap, Badrun bukanlah siapa-siapa dari masa lalumu, Zah. Dan semoga, keinginanmu untuk segera aku nikahi itu benar-benar murni keinginanmu. Agar kamu bisa menerima juga mencintai Aku sepenuh hatimu. 


“Badrun itu siapa?” tanya A Akbar padaku ketika kami masih dalam perjalanan pulang.

“Teman”

“Yakin teman?”

“Iyalah, A. Terus apa lagi?”

“Kok dia tau soal lamaran kamu? Kamu nggak ketemu siapa-siapa kan antara waktu aku ngelamar kamu dan kita nikah?”

“Cuma teman, A” Yah, Kak Badrun kenapa nanyanya pake bilang aku baru lamaran segala sih tadi?

“Azizah, jujur sama Aa”

Aku menghela nafas. Mungkin, aku harus jujur sama A Akbar kali ini.

“Teman dekat”

“Oke, teman dekat. Kamu sedekat apa sama Kak Badrun?”

Entah kenapa, tiba-tiba perasaannku mulai tak enak. Kenapa A Akbar nanya itu, sih?

“Ya, teman dekat aja gimana, A. Suka saling cerita.”

“Terus, kamu cerita sama Badrun kalau kamu abis dilamar?”

“Iya. Lagian kan, sekarang mah udah canggih atuh, A. Aku bisa cerita sama Kak Badrun lewat WA. Gak harus ketemu.”

“Bener? Bukan Badrun yang datang ke rumah kamu?”

Aku terdiam. Memandangi jalanan yang terlihat melalui jendela kaca mobi milik A Akbar. Sembari memikirkan jawaban apa yang harus aku berikan. Apa aku harus menceritakan yang sebenarnya?

“Tapi, kalau kamu gak mau cerita sekarang juga gak papa kok. Kita bisa bahas ini lain kali. Atau mungkin, gak bakal dibahas lagi kalau kebetulan Aa-nya lupa.”

Maaf, A. Aku rasa, ini bukan waktu yang tepat. Lagipula, pernikahan kita baru seumur jagung. Aku gak mau masa-masa awal pernikahan kita dihiasi keributan. Tapi bagaimanapun, aku ini istri A Akbar. Aku akan selalu berusaha untuk mencintai A Akbar, seutuhnya.

30 August 2020

Melamar 3 : Kecewa
Ilustrasi/Sumber : maisya.id

Melamar 3 : Kecewa 

"Kak Badrun?" sapaku pada seorang lelaki yang rupanya sudah menunggu di balik jendela kamarku.

"Assalamu'alaikum, Azizah"

"Wa'alaikumussalam, Kak"

"Kamu cantik, Azizah. Tapi kenapa mata kamu berair? Kamu habis nangis, ya?"

Aku tersenyum. Pertanyaan yang Kak Badrun lontarkan begitu hangat terdengar ditelingaku. Menunjukkan perhatian yang selama ini membuatku selalu mengharapkannya.

"Aku... aku dilamar A Akbar, Kak. Dia sepupu aku"

"Kamu dilamar? Ya bagus, dong. Terus kenapa kamu nangis?"

Seketika, hatiku terpukul melihat raut wajah dan mendengar perkataan Kak Badrun.

Tidakkah Kak Badrun tau? Yang aku harapkan itu Kak Badrun. Bukan A Akbar, teriakku dalam hati.

"Aku bilang sama Ibu, kalau aku udah punya pacar, Kak" jawabku pada Kak Badrun seraya mengatur deru nafasku dengan baik. Berusaha agar emosiku tak membuncah.

"Pacar? Sejak kapan kamu punya pacar?"

Aku terdiam. Tak ingin menjawab pertanyaan Kak Badrun.

"Tapi kalau boleh Kakak saranin sih, sebaiknya kamu terima aja lamaran sepupu kamu itu. Setidaknya, dia udah nyatain perasaannya sama kamu. Langsung ngelamar kamu lagi hari ini."

Aku terdiam, lagi.

"Lagian ya Zah, cari cowok yang serius itu susah loh menurut kebanyakan cewek. Selain itu, yang aku tau sih cewek tuh gak boleh nolak lamaran lelaki sholeh.”

"Kakak itu cowok. Tau dari mana kalau cewek susah nyari cowok yang serius?"

"Kan tadi Kakak bilang. Menurut kebanyakan cewek. Dan salah satunya, calon istri Kakak. Laras."

Calon istri? Apa aku tak salah dengar?, tanyaku terkejut dalam hati.

"Calon istri?"

"Iya. Kakak belum cerita ke kamu, ya? Jadi gini. Dua bulan yang lalu, Kakak ngelamar Laras. Dan dua minggu lagi, Kakak dan Laras bakal nikah. Kamu datang ya nanti."

Jadi, Kak Badrun bakal nikah dua minggu lagi?, tanyaku dalam hati tak percaya. Ini semua tak pernah kuduga sebelumnya. Kenapa harus terjadi?

"Ini" Kak Badrun memberiku sebuah kertas undangan berwarna biru muda dengan inisial pengantin B & L. "Sebenarnya Kakak kesini mau ngasih undangan buat kamu. Tapi karena Kakak liat kamu abis nangis, jadi Kakak mau dengerin curhat kamu dulu aja"

Tapi maaf, Kak. Kedatangan Kak Badrun hari ini justru semakin membuatku ingin menangis lagi, batinku.

"Undangannya bagus, Kak. Insya allah aku datang nanti." 

Aku meraba-raba kertas undangan yang diberikan Kak Badrun. Meneliti satu sisi ke sisi lainnya. Meski separuh hati terluka. Karena ini adalah salah satu cara agar kesedihanku tak begitu kentara meski Kak Badrun berada tak jauh dariku.

"O iya. Katanya kamu punya pacar, kan? Kalau boleh tahu, siapa nama pacar kamu?"

Aku membalikkan tubuhku membelakangi jendela kamar.

"Sebenarnya dia bukan pacar aku, Kak. Tapi dia adalah orang yang pernah membuatku merasa nyaman dan berharap. Namanya Badruzzaman"

Satu detik. Dua detik.

"Maksud kamu, orang itu adalah Kakak?"

23 August 2020

Melamar 2 : Datang
Ilustrasi/Sumber : maisya.id

Melamar 2 : Datang

Hari beranjak siang. Jalan raya yang tadinya dipadati begitu banyaknya kendaraan, kini mulai menyisakan celah untukku lewati bersama sepeda motor yang kukendarai. Untuk pergi menuju tempat yang menjadi tujuan utamaku hari ini.

---

Aku melambatkan laju sepeda motorku begitu melihat sebuah mobil pribadi terparkir  di depan teras rumah Azizah. 

Itu benar rumah Azizah, kan? Kok ada mobil, ya? Bukannya keluarga Azizah gak punya mobil? Atau, baru beli belakangan? Atau mungkin, lagi ada tamu dirumahnya? serentetan pertanyaan melewati pikiranku begitu saja. Tapi ya sudahlah. Aku harus tetap menemuinya hari ini.

---

Aku kembali melambatkan laju sepeda motorku. Dan kali ini, aku tepat berada di samping kiri mobil pribadi yang kulihat sebelumnya dari kejauhan. Persis di seberang teras rumah Azizah dan pintu ruang tamu yang terbuka. Namun tunggu. Sepertinya ada tamu di luar sana. Seperti yang telah aku duga sebelumnya. Tapi, aku tak melihat sang tuan rumah yang biasanya kutemui. Tak ada juga Azizah yang ingin kutemui. Kemana mereka? tanyaku pada diriku sendiri. Hingga akhirnya, aku memutuskan untuk menemui Azizah melalui jendela kamarnya yang pernah ia tunjukkan padaku.

---

Tanpa menunggu waktu hingga lima menit, kini aku telah berdiri di samping jendela kamar Azizah. Mempersiapkan diri baik-baik. Menyusun kata-kata serapi mungkin agar taak menyinggung ataupun menyakiti perasaan Azizah. Oh, itu tak boleg terjadi.

TOK! TOK! TOK!

Aku mengetuk jendela kaca yang menghasilkan suara yang cukup keras. Namun, tidak ada tanda-tanda bahwa jendela itu akan dibuka oleh pemiliknya.

TOK! TOK! TOK!

Aku mengetuk jendela kaca yang sama lagi. Seraya memanggil pemilik jendela kamar tersebut.

"Azizah"

Tak ada jawaban.

"Azizah"

Aku menarik napas panjang dan mengeluarkannya kembali. Kemudia terdiam beberapa saat. Berharap Azizah bisa mendengar suaraku dari dalam sana dan bersedia membuka jendela kamarnya.

"Azizah? Ini Kak Badrun" panggilku dengan suara yang lebih keras lagi. Kemudian menyandarkan diri di dinding samping jendela kamar Azizah yang memanjang dari atas ke bawah.

"Kak Burhan?" 

Suara itu terdengar jelas disampingku. Ternyata Azizah telah membuka jendela kaca kamarnya sedetik yang lalu tanpa aku sadari.

"Assalamu'alaikum, Azizah"

"Wa'alaikumussalam, Kak"

"Kamu cantik, Azizah. Tapi kenapa mata kamu berair? Kamu habis nangis, ya?"

"Aku... Aku dilamar A Akbar, Kak. Dia sepupu aku"

16 August 2020

Melamar
Ilustrasi/Sumber : maisya.id

Melamar

 Akbar dan kedua orangtuanya tengah duduk menunggu dengan rasa cemas. Setelah menengok ke luar rumah dan melihat ada seorang lelaki bersepeda motor yang juga memperhatikan ruang tamu yang ditempatinya, perasaan Akbar menjadi tak enak. Ditambah lagi pembicaraan Bibi dan Pamannya yang tak sengaja terdengar Akbar walaupun cukup berbisik-bisik. Ah tidak. Perasaan Akbar semakin kacau balau karena ternyata sepupunya yang menjadi pujaan hatinya itu telah memiliki pacar yang tak pernah ia kenali.

"Abah, Akbar mau pulang aja" bisik Akbar pada Abahnya yang ada di sampingnya.

"Loh kok kamu tiba-tiba mau pulang, Bar? Calonmu itu belum keluar loh. Lagi pula belum ada keputusan juga dari paman dan bibimu itu"

"Pokoknya Akbar mau pulang aja, Abah. Azizah itu bukan calonnya Akbar"

"Akbar, Abah pun tahu kalau Azizah itu sudah punya pacar dari bisikan mereka. Tapi itu bukan berarti Azizah menolak kamu"

"Tapi, Bah...."

Ucapan Akbar terpotong. Tergantikan oleh suara deheman dari sang tuan rumah pria.

"Ehm" Ayah dari gadis yang dilamar Akbar itu menduduki sofa tunggal yang sangat dekat dengan sofa tempat Abah, Akbar dan Uminya duduk. "Sebelumnya, saya sangat berterima kasih pada nak Akbar, A Rusdi juga Teh Dewi yang telah datang kemari untuk melamar anak saya yang bernama Azizah. Tapi sayangnya, kedatangan yang begitu mendadak ini membuat anak saya kaget dan belum siap untuk menjawabnya. Ditambah lagi, Azizah itu ternyata sudah memiliki kekasih yang tak pernah saya ketahui. Karena memang, Azizah itu jarang sekali bercerita pada saya ataupun ibunya. Sehingga saya pun tidak mengetahui siapa saja yang ia kenali atau tengah dekat dengannya" ucap sang tuan rumah dengan pelan dan berhati-hati untuk memilih kata yang pantas dikeluarkan agar tak menyakiti perasaan Akbar dan keluarga. Namun sehati-hati apapun perkataan yang dikeluarkan oleh pamannya, tetap saja Akbar merasa kecewa. Walaupun sebenarnya ia mengetahui bahwa penolakan adalah hal yang sangat mungkin terjadi ketika melamar seorang wanita.

Selang beberapa menit setelah sang tuan rumah menyatakan bahwa anaknya menolak lamaran dari Akbar, akhirnya Akbar dan kedua orangtuanya pun izin pamit untuk pulang. Walaupun harus menerima kenyataan yang cukup mengecewakan.

"Mungkin ada wanita lain yang lebih bisa mendampingimu kelak, Akbar" adik ipar dari Abah Akbar itu menyemangati Akbar ketika mengantarnya ke teras rumah.

"Terima kasih, Paman" balas Akbar pada pamannya. Kemudian mencium punggung tangan kanan beliau yang bertanda Akbar akan segera pulang.

"Sama-sama, Akbar"

"Bi, Akbar pamit dulu" ucap Akbar pada adik dari Abahnya. Kemudian mencium punggung tangan kanan beliau seperti ia mencium punggung tangan pamannya.

"Hati-hati, Akbar"

"Iya, Bi. Terima kasih"

"A Akbar!" seru seorang perempuan dari dalam rumah dengan matanya yang berair dan mengenakan kerudung yang tak lagi rapi. "Azizah terima lamaran A Akbar. Dan Azizah mau kita nikah secepatnya"

06 May 2020

Jaket Merah Jambu 4 : Pernikahan
Jaket Merah Jambu 4 : Pernikahan
Rayhan menatap kertas undangan berwarna coklat muda yang dipegangnya. Sungguh, ini adalah pertama kalinya ia mengalami hal ini. Ditinggal nikah oleh seseorang yang dicintainya. Kenapa pula ia ditakdirkan untuk bertemu Ine? Hingga jatuh cinta padanya? Namun, takdir adalah takdir. Tak bisa ia sanggah jika memang sudah terlewati. Ia sudah dipertemukan dengan Ine yang telah membuatnya jatuh hati, dan dibuat patah hati karena perasaannya sendiri. Ya. Ia tak bisa begitu saja menyalahi Ine. Lagi pula itu haknya. Untuk dipilih dan menerima. Dan Rayhan, harus menerima keputusan itu.
Tiga minggu telah berlalu sejak kabar Ine akan menikah terdengar di telinga Rayhan. Tapi kenapa perasaan itu belum hilang? Kenapa ia masih merasa kepedihan yang begitu dalam? Bukankah ia telah mengikhlaskan Ine untuk orang lain?
“Han, dicari lagi tuh sama santri putri di depan” panggil Ade.
“Siapa sekarang?” Rayhan bertanya dengan kata ‘sekarang’, karena ini memang sudah ketujuh kalinya beberapa santri putri bolak-balik mencarinya hanya untuk meminta mengantarkan mereka ke pernikahan Ine.
“Pipit sama Sarah”
Rayhan terdiam dalam kebisuan. Kedua matanya masih memandangi kertas undangan coklat muda milik pasangan Ine Rahmawati dan Robi Afrizal Rizki.
“Ayolah, Han. Sampeyan tuh jangan galau terus. Bangkitlah, masih banyak cewe lain”
“Tapi gak tau kenapa saya bener-bener tresno sama Ine, De”
“Iya, saya ngerti. Saya juga pernah sakit hati kaya sampeyan, Han. Emang susah ngelupainnya. Tapi kan butuh waktu. Gak bisa kalau cuma sehari aja terus tiba-tiba sampeyan ngelupain orang yang sampeyan tresnoi. Mboten saged, Han” Riko berusaha membujuk Rayhan dengan halus agar segera mengikhlaskan Ine.
“Gimana ya, De?” kali ini Rayhan melepaskan pandangan dari kertas undangan itu.
“Bismillah.. sampeyan anterin aja dulu tuh santri putri. Kasian loh udah bolak-bolak terus kesini cuma buat nyariin sampeyan”
“Gak ada orang lain apa yang bisa nganterin?”
“Yang bisa nganterin sih banyak. Tapi cuma sampeyan yang tau tempatnya”
“Astaghfirullah…”

 27 Maret 2019
From : pengurus putri
Kang, berangkat ke undangan jam 2 ya. jangan sampai lupa
Rayhan membaca pesan itu dengan ragu. Jam 2 siang. Ia harus menuju tempat dimana ia akan bertemu dengan orang yang masih disukainya, namun bersanding dengan lelaki lain di pelaminan.
15.15 WIB
Semua santri putri yang ikut serta pergi ke undangan bersorak sorai karena telah sampai ke tempat yang dituju. Ingin segera menemui salah seorang temannya yang tengah bersanding di pelaminan, dan mengucapkan selamat atas pernikahannya.
“Mang, masuk yu” ajak Sarah yang juga ikut ke undangan pada Rayhan.
“Nanti, Sar. Duluan aja”
“Beneran?”
“Iya. Sarah duluan aja sana. Nanti ketinggalan yang lain tuh”
“O iya” Sarah menyadari kalau para seniornya telah berjalan ke area undangan “Ya udah deh, Sarah duluan ya mang. Yuk Mel” Sarah mengajak Mela yang menemaninya untuk mengajak Rayhan terlebih dahulu sebelumnya.
“Ayo” jawab Mela. “Duluan, Kang”
“Iya” jawab Rayhan.
Rayhan terdiam diatas jok sepeda motornya. Bingung ingin hendak kemana dan harus berbuat apa pada saat itu. Apa saya pulang aja? Tapi mang supir hafal jalan pulang gak ya? Aduh… saya belum sanggup ngeliat Ine Ya Allah, Rayhan berbicara dalam hati.
“Kang, gak ke dalam?”
“Eh, astaghfirullah. Saya lupa, mang” Rayhan terkagetkan dengan teguran dari mang supir yang membawa mobil rombongan santri putri.
“Lupa?” mang supir itu terheran-heran.
“E… ngga kok, Mang. Saya kedalam dulu, ya” Rayhan terburu-buru turun dari sepeda motornya. Kemudian berjalan menuju area undangan.

“Ine” Rayhan berbisik pada dirinya sendiri begitu melihat Ine yang bersanding di pelaminan dengan seorang lelaki yang diduga bernama Robi. Sedang bersalam-salaman dengan para tamu undangan dan menyapa mereka dengan ramah. Namun tak diduga, kedua mata Ine mengarah ke tempat Rayhan berada. Membuatnya sedikit kaget dan ingin segera menyapa Rayhan.
“Rayhan”
Rayhan segera mengalihkan pandangannya. Berpura-pura untuk melakukan sesuatu, meski ia sendiri tidak tau apa yang harus ia lakukan karena terlalu gugup dengan tatapan Ine.
“De, ada apa?” Tanya Robi, seorang lelaki yang kini telah menjadi pendamping hidup Ine.
“E.. enggak kok, Mas” jawab Ine pada suaminya.

“Loh, kamu Rayhan bukan? Teman Ine yang ke rumah buat ngembaliin jaket itu?” lontaran pertanyaan dari Pak Fadil –Abah (ayah) Ine- itu mengagetkan Rayhan dari samping. Pak Fadil mengenalinya. Karena memang kunjungan Rayhan ke rumah Ine tempo lalu itu cukup lama. Sehingga Pak Fadil semakin mudah mengenali wajah dan gerak gerik tubuh Rayhan.
“Oh, iya Abah” jawab Rayhan sedikit gugup. Kemudian membungkukkan badan untuk menyalami Pak Fadil “Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam.. Gimana kabarmu, Nak Rayhan?” Pak Fadil menepuk-nepuk punggung Rayhan.
“Alhamdulillah baik, Abah. Abah sendiri gimana kabarnya?” Rayhan bertanya dibalik kesedihan yang disembunyikannya.
“Baik juga..”
“Alhamdulillah kalau begitu”
“Kamu kesini sama siapa, Nak Rayhan?”
“Sama santri putri, Abah. Perwakilan dari teman-temannya Ine” ucap Rayhan sembari menunjuk para santri putri yang sedang makan setelah menyalami Ine.
“O… iya iya” Pria yang dipanggil ‘Abah’ itu mengangguk-angguk. “Hm… sekarang, kamu sudah punya calon?”
Pertanyaan Pak Fadil itu membuat Rayhan gugup setengah mati.
“Belum, Abah. Belum ada yang nyangkol” jawab Rayhan dengan sedikit gurauan. Meski dalam hatinya, ia menginginkan putri dari Pak Fadil bernama Ine Rahmawati-lah yang menjadi pendampingnya. Namun ia tersadar itu hal mustahil baginya karena Ine telah menjadi istri dari lelaki lain.
“Oh… tidak apa-apa ya, nak Rayhan. Kamu ini anaknya baik kok, sopan juga. Jadi insya allah jodoh kamu akan baik-baik juga kelak. Dan pasti akan datang pada waktu yang tepat.”

29 April 2020

Jaket Merah Jambu 3 : Keputusan
Jaket Merah Jambu 3 : Keputusan
“Mba, Sarah ada?” Rayhan bertanya pada salah seorang santriwati yang kebetulan lewat di depannya.
“Ada, Kang. Saya panggilin dulu, ya”
“Nggih, Mba”
Tak lama kemudian, Sarah datang.
“Mang Rehan” Sarah memanggil Rayhan yang membalikkan badannya dari pintu pondok putri.
“Eh, Sarah.”
“Mana, Mang?”
“Mana apanya?” Rayhan mencoba bergurau.
“Uangnya lah. Sarah dibestelin mang kan buat minta uang.”
“Ih. Minta uang mulu. Makanya kalau di pondok tuh yang hemat. Jangan boros-boros. Kasian tuh ibu-bapakmu.”
“Iya, Mang. Tapi kan Sarah lagi butuh”
“Butuh buat apa?”
“Ya butuh buat bayar bulananlah.”
“Terus?”
“IIh. Nanya terus Mang mah. Mana uangnya?”
Rayhan menarik nafas dan kembali mengeluarkannya. “Iya iya. Ini mang Rehan kasih nih.”
“Nah, gitu dong Mang. Gak dari tadi gitu”
Rayhan mengambil amplop yang berisi beberapa helai uang titipan kakaknya. Yang tentu, untuk diberikan pada anak dari kakaknya.
“Nih”
“Oke. Matur suwun, mang Rehan”
“Sami-sami”
Sarah menyimpan amplop yang diterimanya di saku rok. Kemudian ia teringat, tentang pesan dari Ine untuk disampaikan pada Rayhan.
“Mang, udah tau belum?”
“Belumlah. Sarah kan belum ngasih tau”
“Iih, mang. Sarah serius”
“Apa sih?”
“Ini pesan dari mba Ine. Katanya Sarah harus bilang sama mang Rehan.”
Begitu mendengar nama Ine disebut, Rayhan mempertajam pendengarannya.
“Napa?”
“Em… Mba Ine mau nikah, Mang” Sarah berbicara dengan hati-hati pada Rayhan.
“Nikah?” Rayhan melongo tidak percaya. Hatinya tiba-tiba seperti tertusuk pedang tajam berkali-kali. Sungguh?


Pagi itu, Rayhan dan Ade baru saja selesai membereskan area pesantren. Dan karena kelelahan, akhirnya mereka istirahat sejenak di atas loteng sambil menikmati segelas kopi susu hangat.
“Han, wis weru durung?” tanya Ade setelah menyeruput kopi susu yang berwadah gelas plastik bening sekali pakai.
“Weru apa?” heran Rayhan.
“Ine”
“Ine? Ana apa toh?” Rayhan pura-pura tidak tahu.
“Sampeyan tresno ning Ine, dudu?”
“Eleh. So tau sampeyan, De”
“Emang iya, toh?’
Rayhan mengalihkan pandangan. Sembari menarik nafas kasar.
“Han?”
“Hem?” saut Rayhan tanpa mengalihkan pandangannya.
“Sampeyan wis weruh kalau Ine bakal nikah bulan depan?”
“Wis”
“Weru seng sopo sampeyan?”
“Keponakanku lah. Dia kan deket banget sama Ine itu”
“Sabar ya, Han.”
“Calonnya orang Sunda. Katanya sih Ine mau sama calonnya itu gara-gara calonnya udah ngebiayain Ine mondok. Ine gak enakan kalau nolak katanya.”
“Hah? Serius sampeyan?”
“Iyalah. Saya denger dari Inenya sendiri”
“Kapan sampeyan ngobrol?”
“Wingi. Ngebesteli Sarah”
“Uhm..” Riko menggeleng-gelengkan kepalanya. “Jaman sekarang. Harta bisa ngalahin cinta”
“Iya, De. Saya jadi galau ini”
“Sampeyan mau ngerelain Ine, Han?”
“Iyalah. Arep apa? Calon Ine duweni harta. Lah kulo apa? Bulanan bae durung bayar”
“Ya… aja mengkononlah, Han. Tresno sih tresno bae. Tapi aja ngerendahaken awak dewek nemen.”
“Lah, itu kan nyata, De. Saya emang miskin”
“Eh… ngomong apa sih sampeyan”
“Mboten”
Beberapa saat hening. Tak ada ucapan yang keluar dari mulut mereka. Yang ada, hanyalah suara dua kucing yang saling bersautan dari lantai dasar.
“Sampeyan ra bakal merjuangin cintanya Ine?”
“Ora, De. Wis pasti bakal kalah aku.” Rayhan menyeruput kopi susunya yang sudah tersisa sedikit lagi. “Tapi, alasan Ine emang masuk akal juga sih. Mana mungkin dia nolak kalau calonnya udah ngebiayain dia sampe 3 tahun mondok.”
“Tapi kan, Han” suara Riko terpotong oleh Rayhan.
“Wislah, De. Kulo pengen adus iki. Panas.” Rayhan bangkit dari duduk selonjornya.
“Ya wislah.” Riko pasrah melihat tingkah teman sejolinya itu yang sedang patah hati berat. “Awas, Han! Aja ngelamuni Ine ning wc!”
“Oralah”
Setelah Rayhan sudah cukup jauh melangkah, Ade baru menyadari kalau Rayhan meninggalkan sampah gelas plastik bekas kopi susu. Mengingat, biasanya Rayhanlah yang selalu menegurnya jika ia meninggalkan sebuah sampah, walaupun hanya sebungkus permen.
“Rayhan… rayhan. Saking lara atie sampeyan sampe lupa buang sampah”
Akhirnya, Ade bangun dari duduknya dan mengikhlaskan diri untuk membuang sampah bekas teman sejolinya.

28 April 2020

Jaket Merah Jambu 2 : Rumah
Jaket Merah Jambu 2 : Rumah
5 hari setelah kejadian itu berlalu.
"Sarah, kamu tau rumah Ine gak?" tanya Rayhan melalui ponsel di kamarnya.
"Nggak, Mang"
"Yah, punya dong Sar." Rayhan memohon.
"Mang Rehan tuh gimana sih? Orang Sarah gak tau rumahnya juga"
"Kalau temen kamu ada yang tau gak?"
"Kayaknya sih ngga, Mang. Paling juga mba-mba yang udah sepuh"
"Yah. Ayo dong, Sar. Tanya temen-temen kamu. Mang Rehan lagi butuh nih"
"Buat apa sih, Mang? Mang Rehan mau ngelamar mba Ine?"
"Eh. Sembarangan aja ngomong. Mang kan baru kenal sama Ine"
"Ya terus?"
"Ini. Mang Rehan mau ngembaliin jaketnya yang waktu itu dipinjem." Tangan Rayhan menggenggam jaket merah muda yang ia maksud.
"Oh. Mau kerumahnya toh?"
"Pengennya sih iya. Tapi kan gak tau alamat rumahnya"
"Hmm bentar deh, Mang. Kalau gak salah sih Sarah tuh pernah minta biodatanya mba Ine. Nah, kali aja di sana ada alamat rumahnya mba Ine juga"
"Nah, sae sae. Bilang dong dari tadi, Sar.”
"Ya Sarah kan baru inget, Mang"
"Ya udah mana? Mang Rehan minta alamatnya"
"Bentar ya, Mang. Sarah cari dulu"
"Iya. Jangan lama-lama"
Sarah pun pergi ke kamarnya.
"Mang, telponnya dimatiin dulu aja, ya. Nanti Sarah telpon lagi kalau udah ketemu"
"Okelah. Mang tunggu loh"
"Iya, Mang. Sabar dulu aja deh"
Telepon dimatikan.
Dengan sigap Sarah mencari-cari buku binder bersampul hijau diantara rentetan buku dalam rak bukunya.
"Duh... Mana sih? Biasanya kan aku taruh disini" Sarah menggerutu sendiri.
"Apa ketinggalan di pesantren, ya? Eh, ngga ngga. Kemarin kan aku baru nulis di binder. Terus aku taruh dimana, ya?"
Sarah mengingat-ingat dimana terakhir kali ia menyimpan binder itu kemarin.
"Oh iya. Bawah kasur!" Ucap Sarah girang.
Ia pun mencari binder dibalik bantalnya. Dan benar saja, binder miliknya ada disana.
"Nah. Ini dia. Alhamdulillah ketemu" Sarah  bernapas lega. "Okelah, sekarang tinggal cari biodatanya mba Ine. Dimana ya?"


Keesokan hari.
Rayhan bersiap-siap keluar rumah. Dengan jaket coklat favoritnya dan rambut yang disisir rapi. Tak lupa, serta peci berwarna hitam yang selalu ia bawa  Dan tas selempang kecil berwarna hitam coklat guna menyimpan barang-barang berharganya selama ia di perjalanan.
Hari ini, Rayhan akan menjelajahi kabupaten Kuningan. Hendak mencari rumah si pemilik jaket merah muda yang  baru ia kenali enam hari yang lalu.
"Mi, kula bade kesah krihin" Rayhan menghadap ibunya di depan rumah. Meminta izin untuk pergi keluar rumah.
"Mendi, cung?" Ibu Rayhan menanyakan kemana Rayhan hendak pergi.
"Ngewangsuli jaket, Mi. Gadahe rencang"
"Ya wis. Ati-ati numpak motore"
"Nggih, Mi"
Rayhan mencium punggung tangan ibunya.
"Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumussalam"
Setelah berpamitan, Rayhan pun menjalankan mesin sepeda motornya.  Dan menyiapkan diri untuk mencari rumah seseorang yang tanpa sadar ia cintai.


1 jam berlalu.
Rayhan belum menemukan tempat yang sebenarnya yang ia tuju. Sebuah rumah yang entah bagaimana bentuknya. Tapi sudah ia dapatkan alamatnya dari keponakannya sekaligus teman sepesantren dari si pemilik rumah. Berbagai jalan telah ia lewati. Dan berbagai kalangan manusia telah ia tanyakan perihal alamat rumah yang kini sedang ia cari. Hingga akhirnya, Rayhan memutuskan untuk memarkirkan sepeda motornya di samping warung pinggir jalan. Lalu memesan secangkir kopi untuk menyegarkan kembali pikirannya sekaligus mencegah datangnya kantuk di perjalanan selanjutnya.
"Bu, kopi hitam satu"
"Iya, Mas. Duduk dulu" jawab ibu si penjual.
Tanpa pikir panjang, Rayhan langsung duduk di bangku kayu panjang yang disediakan warung tersebut.
"Mangga, Mas." Si Ibu penjual memberikan secangkir kopi hitam kepada Rayhan.
"Terima kasih, Bu" Rayhan menerimanya dan menyunggingkan senyum tulusnya.
"Sama-sama, Mas"
Rayhan menyeruput kopi hitam itu. Sementara pikirannya masih berkecamuk memikirkan bagaimana caranya menemukan rumah si pemilik jaket murah muda.
“Bu, kopi luwak satu” sahut seorang pemuda yang baru tiba di sebelah Rayhan.
“Siap! Duduk dulu, Ko” Si Ibu penjual rupanya telah mengenali pelanggannya tersebut.
“Oke”
Rayhan tertegun mendengar pemuda disebelahnya. Jika si ibu penjual itu saja mengenalinya, maka kemungkinan besar pemuda itu adalah orang sekitar. Ya, siapa tau dia bisa mengarahkan jalan yang harus ditempuhnya.
“Mas, orang sini?” Tanya Rayhan dengan mantap.
“Iya” jawab pemuda itu singkat.
“Berarti, tau jalan sekitar sini juga?”
“Memangnya kenapa, Mas? Lagi nyari alamat?”
“Ini kopinya, Eko” ibu penjual memberikan secangkir kopi luwak pesanan yang dipanggil ‘Eko’ itu. 
“Terima kasih, Bu”
“Iya. Maaf loh pembicaraannya jadi kepotong”
“Iya, Bu. Gapapa.”
“Jadi, Mas Eko ini tau jalan sekitar sini?”
“Kebanyakannya sih tau, Mas”
“Nah, kebetulan. Saya lagi nyari alamat ini, Mas. Mas tau gak arahnya dari sini harus kemana?”


Rayhan kembali mengendarai motornya setelah dia mendapatkan arah dari Mas Eko yang baru dikenalinya beberapa menit yang lalu. Dan arahannya, tepat sekali. Karena kini, Rayhan telah berada di depan rumah si pemilik jaket merah muda. Namun….
“Assalamu’alaikum” Rayhan memberi salam dengan sopan.
“Wa’alaikumussa…” Ine terkaget ketika melihat seorang lelaki asing di depan rumahnya. Sedangkan rambutnya terikat kuda tanpa mengenakan kerudung. “Abah!!!”
Ine kembali ke dalam rumah dengan cepat dan membiarkan sapunya tergeletak di samping pintu rumah.
Astaghfirullah, itu Ine? Rayhan memalingkan matanya dari pandangan yang baru saja ia lihat. Maafkan saya, Ine. Saya tidak sengaja. Rayhan berujar dalam hati.
“Wa’alaikumussalam..” salam itu akhirnya terjawab oleh pria separuh baya yang keluar dari rumah.
“Assalamua’alaikum, Pak” Rayhan mengulang ucapan salamnya dan membungkuk untuk menyalami pria paruh baya tersebut.
“Wa’alaikumussalam” tangan pria itu menyambut tangan Rayhan dengan baik. “Mau ketemu sama siapa, nak?”
“Mohon maaf sebelumnya, Pak. Saya Rayhan. Temannya Ine”

25 April 2020

Jaket Merah Jambu 1 : Bertemu
Jaket Merah Jambu 1 : Bertemu
Kejadian ini dimulai saat awal liburan pesantren. Ketika Ine dan Rayhan ditakdirkan untuk bertemu pertama kalinya.
"Sarah, udah ada kang Rayhan di depan." Mila memberitahu Sarah bahwa ia telah ditunggu pamannya di pintu depan pesantren putri.
"Iya, Mba"
"Cepetan itu kang Rayhannya udah nunggu dari tadi. Kasian" 
"Iya, mba Mila. Ini aku lagi nunggu mba Ine masih di kamar mandi"
Kebetulan, Ine datang pada saat itu juga.
"Yuk, Sar." Ajak Ine sambil merapikan kerudung segiempatnya.
"Benerin dulu kerudungnya, Ine" perintah Mila greget.
"Iya. Ini lagi dibenerin" Ine menyematkan jarum di balik dagunya.
"Jangan buru-buru, mba Ine. Awas malah kena jarum lagi jarinya”
"Nah, udah kok. Rapi gak, Sar?"
"Rapi udah. Itu mang*nya Sarah udah nungguin loh. Kasian daritadi. Katanya pengen bareng" Mila menyela saking gregetnya.
"Hehe. Iya iya" Ine memakai jaket merah muda yang cukup tebal miliknya. Karena cuaca di luar memang cukup dingin saat itu.
"Udah siap, mba Ine?"
"Udah. Yuk"
"Oke"
"Mil, saya pulang duluan ya" Ine bersalaman dengan Mila. Diikuti dengan Sarah yang juga bersalaman dengan Mila.
"Iya. Ati-ati"
"Assalamu'alaikum" Ine dan Sarah mengucapkan salam bersamaan.
"Wa'alaikumussalam"

Baca juga : Jaket Merah Jambu 2 : Rumah

Ine dan Sarah keluar dari pintu pesantren putri. Dan pada saat itulah, Ine dan Rayhan bertemu dan berkenalan.
"Mang" Sarah memanggil Rayhan yang menghadap ke belakang.
"Eh, Sarah." Rayhan mengulurkan tangannya, dan disambut oleh Sarah untuk bersalaman.
“Udah siap?"
"Udah, Mang"
Rayhan menengok ke arah perempuan yang berdiri di samping keponakannya. Lalu tersenyum lembut dan dibalas senyum kembali oleh perempuan berumur 24 tahun itu.
"Mba Ine, Mang" Sarah memperkenalkan Ine terlebih dahulu sebelum Rayhan menanyakannya.
"Oh, iya.” Rayhan tersadar. “Saya Rayhan"
“Kang Rayhan” Ine mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Okelah. Udah kenalan, kan sekarang? Sekarang pulang, yuk” pinta Sarah.
“Eh. Ayo ayo”
Ketiganya pun berjalan bersamaan. Rayhan disamping kanan, Ine di samping kiri, dan Sarah diantara keduanya.


Tiba di terminal.
Rayhan mengusap-ngusap kedua lengan dengan kedua telapak tangannya pula. Mengartikan ia sedang kedinginan saat itu. Karena memang, kota Cirebon baru saja diguyur air hujan ketika mereka masih di dalam mobil 20 menit yang lalu. Jadi, efek dinginnya masih terasa.
Kasihan kang Rayhan. Apa aku kasih pinjem jaket aja kali, ya? Tapi kan warna merah muda. Dia malu gak ya pakenya? pikir Ine menimbang-nimbang. Biar sajalah, daripada nanti kang Rayhan malah sakit nyampe rumah. Lagian juga rumah aku udah deket ini.
“Kang, kedinginan ya?” tanya Ine memberanikan diri.
“Nggih, Mba. Cuacanya kan emang dingin”
“Mau saya pinjamkan jaket?” Ine menawarkan dan menaikkan kedua bahunya. Menunjukkan jaket yang sedang dikenakannya.
Rayhan mempertimbangkan tawaran Ine. Warna merah muda? Gak masalah sih. Tapi kan mba Ine juga belum sampe rumah, pikir Rayhan.
“Mboten, mba. Matur suwun” Rayhan menolak secara halus.
“Gak papa. Baju kang Rayhan itu tipis banget loh. Yang ada kang Rayhan malah masuk angin nanti sampe rumah” Ine mulai melepas jaket dari tubuhnya.
“Mboten, Mba. Saya ini kan lelaki. Jadi ya insya Allah kuat.”
“Nggak, Kang. Mau lelaki atau perempuan, ya bisa sakit juga.”
“Loh, kalau jaket mba Ine dikasih ke saya, mba Ine yang nanti sakit. Janganlah” Rayhan menolak lagi.
“Nih, kang. Dipake jaketnya” Ine memberikan jaket merah muda miliknya itu pada Rayhan.
“Mba. Mboten mekoten”
“Mboten punapa, Kang.” Jawab Ine dengan Bahasa jawa “Rumah saya sudah dekat dari terminal ini,
kok. Tinggal naik angkot lima menit lagi juga sampai. Rumah kang Rayhan kan masih jauh. Belum lagi nganter Sarah” Ine berdalih. Meskipun sebenarnya, Ine juga tidak tahu persis dimana rumah Rayhan. Tapi setidaknya, ia tahu kalau Rayhan akan mengantar keponakannya terlebih dahulu ke rumah. Jadi ia rasa, rumahnya tidak akan jauh dari rumah keponakannya.
“Mba Ine ini maksa, ya. Ya sudah. Matur suwun, Mba.”
“Sewangsule, Kang” Ine tersenyum pada Rayhan.
Dan kali ini, Rayhan merasa ada yang berbeda. Perhatian yang diberikan perempuan itu, dan senyumnya yang sangat meneduhkan hati. Sungguh membuat jantung Rayhan berdegup lebih kencang dari biasanya.
“Cie… mang Rehan” Sarah yang ada disamping Rayhan menyuraki. “Dapet senyumnya mba Ine”
“Eeh” Rayhan menyembunyikan rasa malunya.
“Iih, Sarah” diikuti Ine yang tersipu mendengar celotehan perempuan yang berumur 10 tahun dibawahnya itu.
“Mba Ine, itu mobil angkot yang ditunggu mba Ine, kan?” tanya Sarah mengalihkan perhatian. Tapi kalau soal angkot yang datang, memang benar adanya.
“Oh, iya” jawab Ine setelah melihat angkot yang ditunggunya datang. “Saya duluan ya, Sarah, kang Rayhan”
“Iya, Mba. Mangga” Rayhan mempersilakan dan menelungkupkan kedua tangannya seperti pertama berkenalan satu jam yang lalu dengan Ine, Diikuti Ine yang juga melakukan hal yang sama.
“Iya, Mba” berbeda dengan Rayhan, Sarah yang sama-sama perempuan bersalaman dengan mencium punggung tangan kanan Ine.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam” jawab Sarah dan Rayhan bersamaan.
“Hati-hati, mba Ine” Sarah terakhir bicara. Lalu dibalas dengan Ine yang mengacungkan ibu jari tangan kanannya dan menaiki angkot yang telah mendekat.

27 July 2019

Poin Pelanggaran 4 : Keajaiban
Poin Pelanggaran 3 : Keajaiban
"Rin, temenin aku, yuk" pinta Ila menghampiri Rina.
”Kemana?"
"Ada mamah aku di kantor"
"Oh, ayo" Rina bangun dari duduknya. Lalu berjalan di belakang Ila menuju kantor guru.
Di kantor, mereka melihat Irma-ibu dari Ila, sedang duduk berhadapan dengan  Lilis.
"Mah" Ila menyapa ibunya. Dan yang dipanggil menengok."Ila, Rina” Ila dan Rina mencium punggung tangan kanan Irma bergantian.
     Lalu terjadilah perbincangan antara Lilis, Irma, dan Ila. Sedangkan Rina hanya sempat melihat daftar absen siswa yang ada di atas meja Lilis. Dan ternyata, absen itu adalah data pelanggaran siswa kelas XI MIPA 5 yang terbaru.     
     Farisi sama Laila udah ditandain merah tuh namanya. Berarti mereka udah sp 1 dong? Atau jangan-jangan, waktu itu Farisi ada orang tuanya juga karena dipanggil Bu Lilis?, Rina bertanya-tanya dalam hati.
"Rin, kamu kelas aja, ya?" Ila mengalihkan pikiran Rina.
"Oh, oke""Makasih ya, Rin""Iya"
     Rina kembali ke kelas. Tapi bukan ke dalam kelas, melainkan duduk di kursi semen depan kelasnya.     
     Ila udah dapet sp 1. Kalau gitu, kemungkinan aku juga bakal dapet satu dalam waktu dekat ini, renung Rina. Kedua matanya menatap kosong lapangan basket yang ada di depannya. Sesekali menengok ke kanan-kiri. Dan kebetulan, Pasha-teman dekat Rina, sedang keluar dari kelasnya menghirup udara segar.
"Ca.." teriak Rina memanggil Pasha dengan sebutan Caca.
"Hai, Rin" Pasha menyapa dari jauh.
"Ca.. sini" Rina meminta Pasha agar mendekati dirinya.
"Ada apa?" Tanya Pasha masih belum mendekat.
"Sini dulu, ih"
"Kenapa?"
"Sini!"
     Akhirnya, Pasha mengalah. Ia berjalan mendekati Rina. Lalu duduk disamping Rina berlawanan arah.
"Kenapa?" Pasha bertanya lembut. 
"Ca"
"Hm?" 
"Ila udah dapet satu tau.”
"Terus?"
"Ya sedih."
"Dia yang dapet sp kok kamu yang sedih?"
"Kalau gitu kan kemungkinan aku juga bakal dapet sp 1"
"Ohh. Ya jangan dong. Kamu juga dikurangi tuh telatnya"
"Aah" Rina mengeluh.
"Kan kamu juga tau, ca. Aku kalau fingerprint tuh jarang kedeteksi jarinya. Kan nyebelin. Sampe sms ke ibu aku segala lagi. Bikin khawatir aja"
"O iya. Kamu udah cerita soal itu, ya?"
"Iya, sms ke kang Firman juga"
      Rina mencari posisi duduk yang nyaman. Menyelonjorkan kedua kakinya di atas kursi semen dan menyandarkan punggungnya ke saka. Menghadap Pasha.
"Ada ada aja, ya"
"Iya. Terus yang bikin sebel lagi tuh, ya. Ini coba. Waktu bu Lilis ngumumin poin, masa aku banyak alfanya? Kapan coba kapan"
"Gara gara jari kamu gak kedeteksi kali"
"Tau, ah. Nyebelin."
"Udah. Simpelnya, nanti ke depannya kamu harus lebih rajin lagi. Terutama soal telat sama fingerprint itu, lo. Kalau jarinya basah dikeringin dulu. Kalau kotor juga dibersihin."
"Emang jari aku sekotor apa sih, Ca. Kan gak mungkin kalau pas mau sekolah aku main tanah dulu. Paling debu."
"Terserah kamu deh, Rin"
"Aku tuh emang susah dibilangin ya, Ca?"
"Tuh tau"
"Aku nakal, ya?
""Ih, saking aja kurang disiplin."
"Gitu, ya?"
"Menurut aku sih iya"
     Rina menarik nafas dalam-dalam. Dan kembali mengeluarkannya.
"Rin, aku masuk kelas ya? Ada pak Bayu."
"Oke, deh. Makasih, Ca"
"Santai aja kali"
     Rina tersenyum. Bersyukur dirinya memiliki teman seperti Pasha, yang bersedia mendengarkan keluh kesahnya saat dia sedang galau sekalipun. Seperti saat ini. Dan setelah ia sadar, ia segera menurunkan kedua kakinya mengingat ada pak Bayu yang akan melewati koridor  kelasnya.
    Sepulang sekolah, ia menelpon ibunya di wartel depan sekolah. Menceritakan perihal dirinya yang memiliki banyak poin pelanggaran dan hampir mendapatkan Surat Peringatan pertama. Dan sama seperti Caca, ibunya menasihati Rina soal jarinya agar dibersihkan ketika ingin absen fingerprint. Tapi tak lupa, ibunya juga berdoa agar Rina tidak mengalami hal serupa seperti Ila, yang mendapatkan sp 1 di kelas 11.     
     

     Waktu terus berganti. Rina kini menginjak kelas 12. Bahkan sudah hampir selesai. Tapi anehnya, Rina tidak pernah sama sekali mendapat panggilan dari wali kelasnya-pak Ali. Ya, panggilan soal Surat Peringatan pertama itu. Padahal, Rina sudah menyiapkan mental untuk mendapat panggilan itu sejak pertama masuk kelas 12. Dan ingin panggilan itu di dapatnya pada hari ulang tahun, 3 September. Yang masih termasuk minggu-minggu awal bersekolah. Tidak apa-apa, sebagai kenangan yang menghiasi masa SMA-nya.
     Namun semua itu tidak didapatkannya. Masa kelas 12 dijalaninya dengan normal tanpa ada gangguan apapun. Aneh, sungguh aneh semua ini. Apa guru GDM salah hitung saat mendata poin pelanggaran Rina? Atau karena doa ibunya? Padahal kalau diingat, terakhir bu Lilis mengumumkan bahwa Rina punya 37 poin. 3 poin lagi untuk mendapatkan sp 1. Dan itu sungguh sulit dipercaya. Rasanya Rina pernah telat lagi setelah poin terakhir diumumkan. Tapi ya sudahlah. Semuanya telah berlalu dan Rina ditakdirkan untuk tidak mendapatkan sp 1 di masa SMA-nya. Dan Rina sangat bersyukur. Terima kasih jika memang guru GDM memang benar salah hitung, dan terima kasih juga jika ini berkat doa ibunya.


Segala kejadian mungkin saja terjadi. Meski kita tak pernah terpikirkan itu akan terjadi.
Jangan lupa, mintalah doa Ibumu. Karena sungguh, doa seorang Ibu sangat mudah dikabulkan.



21 July 2019

Poin Pelanggaran 2 : Fingerprint
Poin Pelanggaran 2 : Fingerprint
Rina memasuki gerbang belakang sekolahnya. Eits, ini bukan seperti kebanyakan sekolah lainnya. Karena seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Gerbang belakang sekolahku ini memang dibuka untuk mempercepat siswa memasuki kelas. Dan itu sangat menguntungkan untuk siswa yang pesantrennya lebih dekat dengan gerbang belakang. Termasuk Rina.
Beberapa siswa aktivis berjejeran di belakang gerbang. Menyambut semua siswa yang silih berdatangan dan memeriksa kedisiplinan mereka.
"Pagi, Kak" sapa salah seorang diantara mereka pada Rina.
Rina hanya membalasnya dengan senyum yang sedikit terpaksa. Lalu berjalan menuju mesin fingerprint yang terpasang di dinding dan dibungkus sebuah kayu balok.
"Silakan coba lagi" fingerprint itu menjawab begitu Rina menempelkan ibu jarinya.
"Silakan coba lagi" mesin fingerprint masih menjawab dengan perkataan yang sama setelah Rina menempelkan ibu jari kanannya kedua kali.
Kemudian, Rina mengganti ibu jari kanannya dengan telunjuk kanan untuk ditempelkan di mesin fingerprint. Tapi jawaban yang diterima masih "Silakan coba lagi"
"Iih!" keluh Rina.
Siswa kelas 11 silih berdatangan dan ingin menyatakan dirinya ’hadir' melalui mesin fingerprint. Terpaksa, Rina sedikit menyingkir agar orang lain tak melihat dirinya yang selalu mendapat jawaban "Silakan coba lagi" setiap kali menempelkan jarinya di mesin fingerprint itu.
"Silakan coba lagi"
"Silakan coba lagi"
"Ah, kesel! Dasar fingerprint."
Rina memutuskan untuk meninggalkan mesin fingerprint itu. Dan langsung masuk ke kelas tanpa 'menghadirkan diri' melalui mesin fingerprint yang ada di lingkungan sekolah.

Sepulang sekolah, Rina langsung menuju koperasi pesantren. Ingin membeli makanan untuk teman makan nasi siang ini.
"Mba, perkedelnya berapaan?"
"Lima ratus, Rin." jawab Sitoh, penjaga koperasi pesantren.
"Beli dua deh, Mba" Rina memutuskan untuk membeli 2 perkedel. Mengingat ia makan bersama 2 orang teman lainnya.
"Oh ya, Rin. Tadi Rina sekolah, kan?"
"Iya, Mba. Ini aku masih pake baju sekolah. Emang kenapa?"
"Tadi Ibu kamu telpon, Rin. Nanyain kamu. Katanya kamu sekolah gak? Tapi ya setahu mba Sitoh kan kamu emang sekolah hari ini. Mba cek ke kamar-kamar juga gak ada yang gak sekolah" jelas mba Sitoh panjang lebar.
"Hah? Kok gitu, ya?" Rina bertanya-tanya heran pada dirinya sendiri. Sambil menerima perkedel yang telah dibungkus plastik dari tangan Sitoh.
”Gak cuma Ibu kamu malah. Kang Firman juga nanyain kamu. Tadi sms."
"Kang Firman?"
"Iya"
"Hp pondok mana, Mba?"
"Tuh dipegang Nisa" Sitoh menunjuk Nisa yang sedang duduk bersila di lantai.
"Apa, mba?" Nisa merasa dirinya dipanggil oleh Sitoh.
”Dua ribu" Sitoh menjawab santri lain yang menanyakan harga aqua botol.
"Itu Rina, Nis"”Nisa, aku mau pinjem hp juga"
"Oke, mba. Bentar" jawab Nisa tak mengalihkan pandangannya dari hp.
"Ini jadi seribu ya, mba? Bayarnya sekalian bayar nelpon nanti"
"Iya"
"Ini, mba Rina" Nisa memberikan hp nokia  yang masih berisi game snake itu pada Rina.
"Mba Sitoh, sms 3. Jadi seribu lima ratus, kan?"
"Iya"
"Nih mba hpnya" Nisa menyodorkan hp milik pesantren pada Rina.
"Iya" Rina menerimanya. "Mba, bayarnya sekalian sms, ya?" tanya Rina pada Sitoh.
"Iya, Rin. Hpnya jangan dibawa ke kamar, ya"
"Oke"
Rina mengambil bungkusan perkedel yang tadi dibelinya. Menyimpannya ke tas kemudian duduk di atas kursi hijau yang berada di samping kanan koperasi pondok.

Bu, ada apa tadi telpon? Ibu nanyain aku sekolah ngga?
Send

Rina selesai mengetikkan SMS untuk ibunya. Tak lama, nada dering dari hp nokia itu berbunyi.
KLIK!
"Assalamu'alaikum” Rina memulai.
"Wa'alaikumussalam" Desi–ibu kandung Rina, menjawab dari seberang telpon.
”Ibu?
"Rina?" Desi mencoba menjernihkan suara telepon.
"Ibu tadi SMS ke hp pondok?"
"Iya, Rin. Tadi pagi kamu sekolah gak?"
"Sekolah"
"Kenapa?"
"Aih? Kok kenapa, Bu? Kan emang jadwalnya sekolah"
"Ibu tadi dapet sms dari sekolah kamu. Katanya kamu gak berangkat hari ini"
"Ooh. Itu mah kerjaan fingerprint, Bu”
"Apa maksudnya?"
"Jari akunya teh gak kedeteksi fingerprint"
"Apa gak ngerti"
"Bu, di sekolah aku kan ada fingerprint. Nah, fingerprint itu teh buat kaya ngabsen gitu, Bu. Jadi absennya pake mesin kalau masuk teh."
"Oh, gimana itu teh?"
"Gini, Bu. Kalau setiap kali masuk gerbang teh akunya harus absen ke fingerprint dulu. Telunjuk atau jempolnya ditempelin ke fingerprintnya. Kalau dari fingerprintnya 'Terima kasih' berarti udah ke absen. Udah kedetek jarinya. Terus kalau belum, ya belum keabsen. Belum kedetek juga jarinya. Jadi dianggepnya nggak masuk sekolah kalau gitu teh. Terus nanti dikirimin sms dari sekolah ke orang tuanya, katanya mah."
"Ooh"
"Nah, pas tadi teh jempol akunya gak kedetek terus. Jadi bikin males. Terus dibiarin gak kedetek sama akunya. Jadi Ibu dapet sms deh"
"Oh. Dikirainnya apa atuh sama Ibu teh. Barangkali Rinanya sakit atau kenapa gak masuk sekolah. Tadi Ibu sampe nge-wa ke kang Firman. Suruh nengok Rina ke pondok."
"Hehe"

15 July 2019

Poin Pelanggaran 3 : Poin Pelanggaran
Poin Pelanggaran 3 : Poin Pelanggaran
Pertengahan kelas sebelas.
Bu Lilis memasuki kelas sesegera mungkin. Membuat para siswa terkejut dan mengambil posisi duduk dengan rapi. Lalu membaca doa bersama.
"Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokaatuh" para siswa mengakhiri pembacaan doa mereka.
"Wa'alaikumussalam warohmatullahi wabarokaatuh" Bu Lilis menjawab salam dengan ekspresi dingin. Membuat semua siswa terdiam kaku.
Duh, kok tegang gini, sih? Kan gak enak suasananya, gumam Rina dalam hatinya. Karena suasana yang terlalu tegang tidaklah Rina sukai.
"Baik anak-anak, pada kesempatan bimbingan kali ini, Ibu akan mengumumkan poin-poin pelanggaran yang sudah kalian raih dari kelas 10 hingga kelas 11 sekarang" Bu Lilis memulai bimbingannya pada hari Senin kedua bulan Maret ini.
What? Poin pelanggaran? Gawat, Rina bergumam. Rina kembali teringat kejadian yang dialaminya pada awal kelas 11 lalu. Saat dibonceng oleh kakak kelas yang tidak ia kenali wajah dan rupanya.
"Sebelum itu, Ibu akan memberitahu kriterianya" Bu Lilis membolak-balikkan beberapa kertas yang dipegangnya sambil berdiri. "Pertama, seorang siswa dinyatakan mendapat peringatan awal jika poin pelanggarannya telah mencapai 20 dan akan dikenakan kartu kuning."
Para siswa bertepuk tangan sejenak.
"Yang kedua, seorang siswa dinyatakan mendapat Surat Peringatan 1 dan dipanggil orang tuanya serta bertanda tangan diatas materai jika poinnya mencapai 40 poin"
Para siswa bertepuk tangan lagi.
"Yang ketiga, seorang siswa mendapat Surat Peringatan kedua jika poinnya mencapai 80 poin, dan dipanggil orangtuanya serta bertanda tangan di atas materai. Dan yang terakhir, siswa dinyatakan dikeluarkan dari sekolah jika poinnya telah mencapai 100" Bu Lilis menarik nafas dan melepaskannya kembali. "Untuk jumlah poin dari masing-masing pelanggaran, kalian bisa lihat sendiri di tata tertib yang akan dipajang di kelas, istirahat nanti"
"Baik, Bu"
"Selanjutnya, Ibu akan bacakan jumlah poin pelanggaran dari masing-masing siswa yang telah diperoleh sejak kelas 10 sampai kelas 11"
Perasaan beberapa siswa mulai dag dig dug tak karuan. Takut namanya disebut sebagai siswa yang memiliki poin pelanggaran yang cukup banyak. Seperti Rina, yang memang merasa sudah memiliki banyak absen telatnya.
"Dimulai dari absen pertama" Bu Lilis memulai. "Agus Rifa'i, 13 poin terdiri dari 1 kali alfa, 2 kali telat, dan 1 kali pelanggaran atribut"Bu Lilis diam sejenak."Ahmad Hamdan, ……."
Dan seterusnya. Bu Lilis benar-benar menyebutkan satu persatu siswa dan jumlah poin pelanggaran yang dimilikinya. Juga merinci apa saja pelanggaran yang dilakukan oleh masing-masing siswa kelas XI IPA 5. Hingga akhirnya, nama Rina Natasya benar-benar disebut.
"Rina Natasya, 42 poin terdiri dari 4 kali alfa, 6 kali telat dan 2 kali pelanggaran atribut"
Hah? Dapet dari mana aku alfa sebanyak itu? Perasaan aku selalu masuk kelas, deh, batin Rina.
Selang beberapa nama temannya disebut, Rina dikejutkan dengan Ila--sepupunya, yang ternyata juga memiliki jumlah poin yang tak jauh berbeda dengannya.
"Thufaila Ufaira, 44 poin terdiri dari…."
"Ila?" Rina bertanya-tanya.
"Ih, 44? Atuhlah ih.." sama halnya dengan Rina, Ila pun merasa aneh dengan poinnya yang ternyata cukup besar. Walaupun ia juga sadar ia seringkali telat sedari kelas 10
Setelah Bu Lilis selesai mengabsen semua siswa kelas XI MIPA 5 dan menyebutkan jumlah poin pelanggaran yang didapat masing-masing siswa.
"Anak-anak, tadi kalian telah mendengarkan jumlah poin pelanggaran yang kalian miliki masing-masing" Bu Lilis menjeda perkataannya. "Sekarang, Ibu akan menyebutkan 5 anak yang memiliki poin pelanggaran tertinggi di kelas ini.
Yang pertama, Thufaila Ufaira, 44 poin"
Semua siswa bertepuk tangan, dan beberapa diantaranya bersorak sorai.
"Kedua, Rina Natasya, 42 poin"
Semua siswa bertepuk tangan lagi.
"Ketiga, Ahmad Farisi 38 poin. Keempat, Laila Nabila 36 poin. Dan kelima, Raisya Humairoh 32 poin"
Serentak, semua siswa bertepuk tangan. Dan sebagiannya berteriak menyoraki.
"Jadi, untuk Rina dan Ila siap-siap dipanggil orang tuanya dan menerima surat peringatan pertama”
"Uh…" Ila mengeluh.
"Uy, Rina Ila bestel!" ucap Farisi dengan suara keras.
"Iih" Rina mendumel sendiri.
"Kok kamu bisa sampe 42 poin sih, Rin?" tanya Kayla, teman sebangku Rina.
"Gak tau, ih. Alfa sampe empat kali juga kapan" Rina menjawab dengan ekspresi sebal.

Keluar dari kelas, setelah guru mata pelajaran terakhir menyatakan kelas XI MIPA 5 boleh untuk pulang. Rina duduk di kursi semen samping koridor kelas 12 MIPA. Karena ia
masih harus menunggu Pasha, sahabatnya yang masih satu pesantren dengannya.
Rina menatap kosong ke arah lapangan basket. Masih berpikir kenapa ia bisa mendapat poin pelanggaran hingga berjumlah 42.
Alfa? Kapan sih aku alfa? Perasaan aku masuk sekolah terus, deh. Bolos juga nggak. Nggak ikut pelajaran, ya paling kalau telat doang, Rina merenungkan diri.
"Rina, kamu kenapa? Kok sampe dapet 42 poin?" Lili menyapa Rina dan ikut duduk disampingnya.
"Gak tau, Li. Padahal aku mah ngerasanya gak pernah alfa, deh" mata Rina sedikit berair.
"Rina jangan nangis" Lili menengok wajah Rina.
"Ah, gak taulah. Aku gak nangis, kok"
"Itu matanya berkaca-kaca"
"Nggak" Rina mengelak.
"Lili!" seseorang memanggil Lili dari koridor seberang.
"Rin, aku cabut dulu ya" Lili berpamitan.
"Iya""Udah jangan nangis"
"Nggak."
Lili berjalan melewati lapangan ke koridor seberang. Meninggalkan Rina yang masih memikirkan tentang Surat Peringatan yang akan diterimanya entah kapan.

Malam harinya.
Tidak. Ini tak pernah kuduga sebelumnya. Rina menyandarkan punggungnya di dinding berwarna biru. Sedangkan kedua kakinya diselonjorkan di atas kasur lipat berwarna merah. Pikirannya membayangkan kejadian-kejadian yang mungkin akan dialaminya di masa yang akan datang. Tiba-tiba dapat poin tinggi, dikeluarkan dari sekolah, pindah pesantren ke Bandung yang dulu disarankan Ayahnya, dan harus beradaptasi di lingkungan yang baru lagi.
Aah. Harus ngerjain sesuatu ini mah. Akhirnya, Rina memutuskan untuk mengerjakan tugas sekolahnya. Yah, hanya menyalin dan merangkum satu halaman LKS. Setidaknya, itu bisa memulihkan pikiran Rina yang terlalu stres. Walaupun hasilnya, tulisan Rina menjadi sedikit berantakan.