28 April 2020

Jaket Merah Jambu 2 : Rumah

Jaket Merah Jambu 2 : Rumah
5 hari setelah kejadian itu berlalu.
"Sarah, kamu tau rumah Ine gak?" tanya Rayhan melalui ponsel di kamarnya.
"Nggak, Mang"
"Yah, punya dong Sar." Rayhan memohon.
"Mang Rehan tuh gimana sih? Orang Sarah gak tau rumahnya juga"
"Kalau temen kamu ada yang tau gak?"
"Kayaknya sih ngga, Mang. Paling juga mba-mba yang udah sepuh"
"Yah. Ayo dong, Sar. Tanya temen-temen kamu. Mang Rehan lagi butuh nih"
"Buat apa sih, Mang? Mang Rehan mau ngelamar mba Ine?"
"Eh. Sembarangan aja ngomong. Mang kan baru kenal sama Ine"
"Ya terus?"
"Ini. Mang Rehan mau ngembaliin jaketnya yang waktu itu dipinjem." Tangan Rayhan menggenggam jaket merah muda yang ia maksud.
"Oh. Mau kerumahnya toh?"
"Pengennya sih iya. Tapi kan gak tau alamat rumahnya"
"Hmm bentar deh, Mang. Kalau gak salah sih Sarah tuh pernah minta biodatanya mba Ine. Nah, kali aja di sana ada alamat rumahnya mba Ine juga"
"Nah, sae sae. Bilang dong dari tadi, Sar.”
"Ya Sarah kan baru inget, Mang"
"Ya udah mana? Mang Rehan minta alamatnya"
"Bentar ya, Mang. Sarah cari dulu"
"Iya. Jangan lama-lama"
Sarah pun pergi ke kamarnya.
"Mang, telponnya dimatiin dulu aja, ya. Nanti Sarah telpon lagi kalau udah ketemu"
"Okelah. Mang tunggu loh"
"Iya, Mang. Sabar dulu aja deh"
Telepon dimatikan.
Dengan sigap Sarah mencari-cari buku binder bersampul hijau diantara rentetan buku dalam rak bukunya.
"Duh... Mana sih? Biasanya kan aku taruh disini" Sarah menggerutu sendiri.
"Apa ketinggalan di pesantren, ya? Eh, ngga ngga. Kemarin kan aku baru nulis di binder. Terus aku taruh dimana, ya?"
Sarah mengingat-ingat dimana terakhir kali ia menyimpan binder itu kemarin.
"Oh iya. Bawah kasur!" Ucap Sarah girang.
Ia pun mencari binder dibalik bantalnya. Dan benar saja, binder miliknya ada disana.
"Nah. Ini dia. Alhamdulillah ketemu" Sarah  bernapas lega. "Okelah, sekarang tinggal cari biodatanya mba Ine. Dimana ya?"


Keesokan hari.
Rayhan bersiap-siap keluar rumah. Dengan jaket coklat favoritnya dan rambut yang disisir rapi. Tak lupa, serta peci berwarna hitam yang selalu ia bawa  Dan tas selempang kecil berwarna hitam coklat guna menyimpan barang-barang berharganya selama ia di perjalanan.
Hari ini, Rayhan akan menjelajahi kabupaten Kuningan. Hendak mencari rumah si pemilik jaket merah muda yang  baru ia kenali enam hari yang lalu.
"Mi, kula bade kesah krihin" Rayhan menghadap ibunya di depan rumah. Meminta izin untuk pergi keluar rumah.
"Mendi, cung?" Ibu Rayhan menanyakan kemana Rayhan hendak pergi.
"Ngewangsuli jaket, Mi. Gadahe rencang"
"Ya wis. Ati-ati numpak motore"
"Nggih, Mi"
Rayhan mencium punggung tangan ibunya.
"Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumussalam"
Setelah berpamitan, Rayhan pun menjalankan mesin sepeda motornya.  Dan menyiapkan diri untuk mencari rumah seseorang yang tanpa sadar ia cintai.


1 jam berlalu.
Rayhan belum menemukan tempat yang sebenarnya yang ia tuju. Sebuah rumah yang entah bagaimana bentuknya. Tapi sudah ia dapatkan alamatnya dari keponakannya sekaligus teman sepesantren dari si pemilik rumah. Berbagai jalan telah ia lewati. Dan berbagai kalangan manusia telah ia tanyakan perihal alamat rumah yang kini sedang ia cari. Hingga akhirnya, Rayhan memutuskan untuk memarkirkan sepeda motornya di samping warung pinggir jalan. Lalu memesan secangkir kopi untuk menyegarkan kembali pikirannya sekaligus mencegah datangnya kantuk di perjalanan selanjutnya.
"Bu, kopi hitam satu"
"Iya, Mas. Duduk dulu" jawab ibu si penjual.
Tanpa pikir panjang, Rayhan langsung duduk di bangku kayu panjang yang disediakan warung tersebut.
"Mangga, Mas." Si Ibu penjual memberikan secangkir kopi hitam kepada Rayhan.
"Terima kasih, Bu" Rayhan menerimanya dan menyunggingkan senyum tulusnya.
"Sama-sama, Mas"
Rayhan menyeruput kopi hitam itu. Sementara pikirannya masih berkecamuk memikirkan bagaimana caranya menemukan rumah si pemilik jaket murah muda.
“Bu, kopi luwak satu” sahut seorang pemuda yang baru tiba di sebelah Rayhan.
“Siap! Duduk dulu, Ko” Si Ibu penjual rupanya telah mengenali pelanggannya tersebut.
“Oke”
Rayhan tertegun mendengar pemuda disebelahnya. Jika si ibu penjual itu saja mengenalinya, maka kemungkinan besar pemuda itu adalah orang sekitar. Ya, siapa tau dia bisa mengarahkan jalan yang harus ditempuhnya.
“Mas, orang sini?” Tanya Rayhan dengan mantap.
“Iya” jawab pemuda itu singkat.
“Berarti, tau jalan sekitar sini juga?”
“Memangnya kenapa, Mas? Lagi nyari alamat?”
“Ini kopinya, Eko” ibu penjual memberikan secangkir kopi luwak pesanan yang dipanggil ‘Eko’ itu. 
“Terima kasih, Bu”
“Iya. Maaf loh pembicaraannya jadi kepotong”
“Iya, Bu. Gapapa.”
“Jadi, Mas Eko ini tau jalan sekitar sini?”
“Kebanyakannya sih tau, Mas”
“Nah, kebetulan. Saya lagi nyari alamat ini, Mas. Mas tau gak arahnya dari sini harus kemana?”


Rayhan kembali mengendarai motornya setelah dia mendapatkan arah dari Mas Eko yang baru dikenalinya beberapa menit yang lalu. Dan arahannya, tepat sekali. Karena kini, Rayhan telah berada di depan rumah si pemilik jaket merah muda. Namun….
“Assalamu’alaikum” Rayhan memberi salam dengan sopan.
“Wa’alaikumussa…” Ine terkaget ketika melihat seorang lelaki asing di depan rumahnya. Sedangkan rambutnya terikat kuda tanpa mengenakan kerudung. “Abah!!!”
Ine kembali ke dalam rumah dengan cepat dan membiarkan sapunya tergeletak di samping pintu rumah.
Astaghfirullah, itu Ine? Rayhan memalingkan matanya dari pandangan yang baru saja ia lihat. Maafkan saya, Ine. Saya tidak sengaja. Rayhan berujar dalam hati.
“Wa’alaikumussalam..” salam itu akhirnya terjawab oleh pria separuh baya yang keluar dari rumah.
“Assalamua’alaikum, Pak” Rayhan mengulang ucapan salamnya dan membungkuk untuk menyalami pria paruh baya tersebut.
“Wa’alaikumussalam” tangan pria itu menyambut tangan Rayhan dengan baik. “Mau ketemu sama siapa, nak?”
“Mohon maaf sebelumnya, Pak. Saya Rayhan. Temannya Ine”

Previous Post
Next Post

post written by:

0 Comments: