“Bib, ke abang
jug.”, titah Mimi padaku ketika aku melewati dapur. Mimi sedang memasak sayur
asem pagi itu.
“Ke abang?
Beli apa, Mi?” Aku bertanya beli apa.
Karena aku sudah mengerti bahwa abang
yang dimaksud Mimi adalah warung Abang yang berada dekat dari rumahku.
“Telur
setengah (kilo) sama daun bawang dua ribu.”
“Setengah
kilo? Enggak separapat?” Aku bertanya memastikan perintah Mimi. Karena biasanya
Mimi menyuruhku untuk membeli telur seperempat kilo saja.
“Setengah.”,
jawab Mimi. “Eh setengah atau separapat ya?”
Yah, suruhan Mimi belum pasti.
“Jadi beli
berapa, Mi?”
“Setengah
atau separapat?”
“Gimana Mimi.”
“Separapat
aja atuh.”
“Oke. Telur
separapat sama daun bawang dua ribu ya, Mi?”
“Iya. Ambil
uangnya sok di kantong Mimi.”
“Sepuluh
ribu juga cukup kan, Mi?”
“Iya cukup.”
Aku
bersiap-siap keluar rumah dengan mengenakan sweater dan kerudung instant putih.
Kemudian mengambil selembar uang sepuluh ribu rupiah dari tas selendangku yang
isinya uang Mimi juga.
“Telur
separapat sama daun bawang dua ribu.” Aku berkata pada diriku sendiri.
Mengingat-ingat apa saja yang harus aku beli.
“Mi, aku ke
abang dulu ya.” Aku pamit pada Mimi setelah siap untuk keluar rumah.
“Iya.”
Aku berjalan
menuju pintu depan rumah. Membukanya perlahan kemudian menengok keadaan di luar
rumah. Ternyata, ada bekas rintikan air hujan di jalan depan teras rumahku.
Kayak abis hujan. Tadi pagi kali,
ya?, tanyaku dalam
hati. Mengira bahwa hujan berlangsung di dini hari dan telah berhenti di pagi
itu. Namun, ternyata perkiraanku salah. Air hujan masih turun ketika aku
benar-benar keluar dari rumah. Menemaniku berjalan dan terus berjalan sampai
tujuan. Dan aku menikmatinya. Toh, hujannya tidak begitu lebat. Hanya gerimis
kecil. Jadi aku bisa melambatkan langkahku untuk menikmati tetes demi tetes air
hujan yang turun dan menghampiri kedua tanganku.
Sesampainya
di warung, aku langsung memesan seperempat kilogram telur dan daun bawang
dengan harga dua ribu rupiah pada seorang perempuan yang merupakan istri dari
Abang (pemilik warungnya). Aku biasa memanggilnya dengan sebutan ‘Ibu’. Tapi
Mimi biasa menyebutnya ‘Tante’. Haha. Apa sajalah panggilannya. Toh sama-sama
dilayani juga kalau membeli.
Seperempat
kilogram telur yang aku pesan masih ditimbang Ibu. Tapi suara hujan terdengar semakin
keras. Aku khawatir hujan pagi ini tiba-tiba lebat sedangkan aku masih berada
di warung. Tapi ternyata, itu tidak terjadi. Alhamdulillah. Aku masih bisa
pulang sendiri ke rumah dan menikmati tetesan air hujan walaupun lebih deras
dari sebelumnya. Setidaknya, aku tak perlu merepotkan seseorang yang berada di
rumah untuk menjemputku ke warung membawa payung.
Tiba di
rumah, aku menyimpan seperempat telur dan daun bawang yang terbungkus kantong
kresek itu di atas meja makan dekat dapur.
“Bib, hujan
ya?”, tanya Mimi begitu aku datang.
“Iya, Mi.”
“Kamu huhujanan
atuh?”
“Iya. Tapi
da kecil hujannya juga.”
“Itu sih
kerudung kamu basah kuyup?”
Oh, bahkan aku tak menyadari bahwa
kerudung yang kukenakan ini basah kuyup diguyur hujan yang sebenarnya tak
terlalu deras.
--
Kurang lebih
satu jam kemudian, Mimi sudah pergi ke pasar untuk berjualan. Sedangkan aku
tetap di rumah karena rumahku ini belum sempat di sapu sebelumnya. Apalagi
sampah di dapur masih agak berserakan bekas Mimi masak. Tapi tak apa. Karena
ini sudah menjadi kerjaan harianku sebagai anak yang berbakti. Aamiin. Hehe.
Sambil
menyapu, aku bersenandung menyanyikan lagu-lagu yang sedang aku sukai.
Terkadang lagu hoolala, merakit, sholawatan, sampai lagu-lagu karangan yang
spontan keluar dari mulutku. Hingga akhirnya aku menemukan empat baris lagu
yang menurutku agak nyambung dan berdasarkan kenyataanku pagi itu.
Pagi Hujan
Kau datang
pagi ini
Temaniku
berjalan ke warung abang
Beli telur separapat sama daun bawang
0 Comments: