08 November 2020

 Tahun 2013.

Aku menaiki tangga pesantren menuju kamar. Namun ketika aku tiba di tengah tangga yang berupa lantai persegi, aku kaget karena melihat namaku tercantum di sebuah kertas kecil yang tergantung pada mading pesantren. Dimana mading pesantren itu berupa kumpulan beberapa styrofoam warna-warni berbentuk persegi panjanh yang digabung dan ditempelkan pada dinding di pertengahan tangga. Namaku tercantum pada sebuah kertas dengan tulisan seperti di bawah ini.

Deba'

1. Ladoq ja : Habibah

2. Alhamdu :.  .....

Aku kaget. Tak mengerti dengan apa yang tertulis pada kertas itu. Kok ada nama aku sih? Dan karena ketidaktahuanku, aku menjadi salah tingkah. Bingung harus berbuat apa.

"Habibah, kamu laqod ja." Seorang teman yang kebetulan sama-sama berada di depan mading, tepatnya di samping kananku, memberitahu. Tapi aku masih tak mengerti.

"Laqod ja sih apa?"

"Laqod ja. Masa Habibah gak tau?" Seorang kakak kelas yang berada di samping kiriku menimpali.

"Nggak."

" Itu loh. Laqod jaa-ukum rosuulum min anfusikum."

"Apa gitu, Mba? Aku gak tau."

"Di barzanji. Emangnya kamu gak pernah marhabanan?"

"Enggak." Barzanji itu apa lagi?

---

Keesokan harinya.

TEEET!!! TEEET!!! TEEET!!!

"Marhabanan!!!"

Suara bel pesantren berbunyi tiga kali beberapa saat setelah sholat 'isya berjamaah dilaksanakan. Diikuti suara seorang kakak kelas yang meneriakkan kata 'marhabanan' dengan cukup keras untuk sebuah pesantren yang memiliki tiga kamar untuk dihuni para santri.

"Bib, ayo ke bawah.” Ang Nafis yang tak lain adalah sepupuku mengajakku untuk pergi ke mushola yang berada di lantai bawah.

"Iya, Ang Nafis." Aku mengenakan kerudung instant yang telah tersampir di pintu lemariku. Kemudian merapikannnya dan berjalan menuju mushola bersama Ang Nafis dan seorang kakak kelasku.

"Ini, Bib." Ang Nafis memberiku sebuah kitab yang telah terbuka beberapa lembar dari arah kanan ketika kami sudah berada di mushola. Kitab itu diambil Ang Nafis dari sebuah rak terbuka yang berisi mukena, Qur'an dan beberapa kitab lainnya milik pesantren dan para santri.

”Ini apa, Ang Nafis?"

"Nanti Bibah baca yang ini." Ang Nafis menunjukkan bacaan bahasa Arab yang kuketahui berawalan tulisan laqod ja dengan telunjuk kanannya.

"Oh."

"Duduk yuk, Bib.”

"Iya."

Ang Nafis mengajakku untuk duduk di salah satu sisi mushola. Aku pun mengikutinya untuk duduk disamping kiri Ang Nafis yang duduk bersebelahan dengan temannya.

"Allahumma sholli wa sallim wa baarik 'alaih." Seorang santri yang memimpin kegiatan marhabanan menyudahi bacaan sholawat yang diiringi beberapa genjring.

"Wa 'ala alih." Para santri menjawab.

"Habibah, baca." Seorang santri yang memimpin kegiatan marhabanan itu berkata padaku yang duduk dibelakang tak jauh darinya.

"Apa? Baca?" Aku masih bertanya tak mengerti. Dan entah kenapa, jantungku tiba-tiba berdegup lebih kencang.

”Ini Bibah. Baca yang ini." Ang Nafis yang duduk disampingku menunjukkan apa yang telah ia tunjukkan sebelumnya

"Oh."

"Bismillah dulu."

Aku menerima mikrofon yang diberikan sang pemimpin kegiatan marhabanan. Kemudian memegangnya dengan benar dan mulai membaca apa yang tertulis pada kitab yang aku pegang. 

"Bismillaahirrohmaanirrohiim."

"Allah." Para santri menjawab.

"Laqod jaa-ukum rosuulum min anfusikum 'aziizun 'alaihi maa 'anittum hariisun 'alaikum bil muminiina ro-uufurrohiim."

"Shollallahu 'alaih."

"Yaa ayyuhalladziina aamanuu shollu 'alaihi wa sallimu tasliimaa."

"Allahumma sholli wa sallim wa baarik 'alaih."

"Wa 'ala alih."

Aku selesai membaca apa yang ditunjuk Ang Nafis pada kitab yang aku pegang ini. Namun, jantungku masih berdegup begitu kencang. Lalu apa lagi?

"Habibah, mik-nya." Sang pemimpin marhabanan memintaku untuk mengembalikan mikrofon. Lalu aku pun memberikannya. Tapi, aku masih bingung.

"Udah, Mba?"

"Udah"

---

Tahun 2020.

Bulan robi'ul awal. Tahun-tahun kemarin, biasanya aku ada di pesantren. Masih nyantri disana. Tapi, tidak dengan sekarang. Karena sekarang, aku sudah boyong dari pesantren sejak setahun yang lalu. Ditambah lagi, sekarang masih pandemi. Alhasil, kegiatan keluargaku yang biasanya pulang kampung saat acara Maulid Nabi pun tidak terlaksana. Jadi, keluargaku hanya memperingati Maulid Nabi di rumah nenek saja. Tak jauh dari rumahku.

"Ya Robbi Sholli 'ala Muhammad. Ya Robbi Sholli 'alaih Wasallim."

Senandung sholawat nabi yang dipimpin oleh seorang pamanku mengudara di ruang tamu rumah nenek. Tapi sayangnya, kitab barzanji hanya ada satu. Sehingga anggota keluarga yang lain sibuk mencari bacaan barzanji di gawai masing-masing. Namun tidak dengan aku. Karena kebetulan, malam ini aku tidak membawa gawai. Padahal, gawaiku masih memiliki baterai yang cukup.

"Sok saha nu bade baca?" Pamanku bertanya pada seluruh anggota keluarga yang berada di ruangan ini. Tak terasa, pembacaan aljannatu sudah selesai.

"Sok saha atuh? Salsa?" Pamanku bertanya pada Salsa yang duduk disamping kananku.

"Nggak mau." Salsa menggeleng.

"Bibah?"

"Sok atuh Bibah weh." Beberapa pamanku yang lain mendukung. Akhirnya, aku mengiyakan. Ya, tak apa. Toh sebenarnya aku juga rindu dengan marhabanan. Jadi, tak ada salahnya jika aku menerima tawaran untuk membaca bagian waba'du dari kitab Barzanji malam ini. Hehe. Dan tiba-tiba, bayangan ketika aku pertama kali membaca laqod ja itu muncul di pikiranku. Betapa polosnya aku saat itu. Benar-benar tak tahu apa itu kitab Barzanji, apalagi waba'du. Tapi setidaknya, aku bersyukur karena aku pernah belajar dan tinggal di pesantren.  Aku telah mengenal banyak hal disana. Yang mungkin tak akan aku lupakan selamanya.

Previous Post
Next Post

post written by:

0 Comments: