21 February 2021

Banjiiir!!!! - Babakan Ciwaringin, 11 Maret 2018

Ahad, 11 Maret 2018. Sekitar pukul 21.00 WIB.

"Banjir!!!"

Seorang lelaki terdengar berteriak dari jarak yang cukup jauh. Aku dan teman-teman yang berada di kamar pesantren, masih bisa mendengarnya dengan jelas. Namun, aku mengeluh dengan teriakan lelaki itu.

"Ih.., apa sih banjir-banjir. Dari kemarin-kemarin juga udah sering ada yang bilang. Paling juga gak jadi lagi."

Aku berkata demikian. Pasalnya, selama bertahun-tahun kami selalu dihantui dengan kabar banjir di lingkungan pesantren. Dan dari berbagai sumber yang kudengar, akan ada dua siluman ular yang bertemu dari arah yang berbeda ketika banjir itu terjadi. Tingginya pun tak main-main. Melebihi setengahnya dari tinggi mushola di pesantrenku. Tapi, waktu banjirnya sangat singkat. Hanya 5 menit saja. Dan konon katanya, kejadian banjir itu akan terjadi selama 7 hingga 10 tahun sekali. Dimana kejadian banjir terakhir kalinya yaitu pada tahun 2006.

Malam itu, sudah kesekian kalinya kabar tentang akan terjadinya banjir terdengar. Padahal sejak tahun 2013, tepatnya ketika aku masih menjadi santri baru di pesantren, kabar itu pun menjadi kabar yang paling membuat kami - para santri - penasaran. Berulang kali kami meminta para ustadz untuk bercerita mengenai kejadian yang sebenarnya ketika mengajar. Meski tidak sedikit yang menolak dan tidak sedikit pula yang bercerita namun masih setengah-setengah.

Lima tahun berlalu. Dan kabar itu masih (selalu) terdengar. Bahkan dalam beberapa waktu, kami sempat mendapat kabar bahwa banjir akan benar-benar terjadi. Dan siapa yang tidak panik jika dikabarkan seperti itu. Kami pun segera membawa sepatu, tempat sabun, Al-Qur'an, hingga mukena ke lantai 2. Namun, banjir tidak terjadi. Membuat kami kesal karena seringkali merasa tertipu dengan kabar demikian. Itu pula yang dirasakan olehku di malam itu. Sehingga aku tak benar-benar percaya akan teriakan seorang lelaki yang entah berada di tempat mana tepatnya.

Kembali ke tanggal 11 Maret 2018. Sekitar pukul 21.30.

"Mba... Banjir, Mba!!!"

Kali ini seorang santri perempuan di pesantrenku yang berteriak. Ditambah suara bel yang sangat keras dan menjangkau keseluruhan ruang di pesantren.

"Asli, tah?" 

Seorang temanku bertanya. Hingga beberapa detik kemudian, benar-benar dipastikan bahwa air di sungai sudah meninggi dan mulai mengalir ke perumahan. Sontak saja kami langsung berjalan dan menuruni tangga untuk menyelamatkan beberapa peralatan yang tersimpan di lantai bawah. Dan aku yang sebelumnya sedang santai membaca buku pun segera menyimpan buku di lemari dengan asal. Lalu berjalan mengikuti teman-teman untuk menyelamatkan sepatu, peralatan mandi, mukena hingga Al-Qur'an untuk disimpan di lantai atas. Selepas itu, aku juga membawa banyak Al-Qur'an yang tersimpan di mushola bersama santri yang lain. Karena memang cukup banyak Al-Qur'an di mushola namun tidak diketahui siapa pemiliknya. Kemudian, barulah aku ikut membawa peralatan lain seperti genjring dan perabotan dari rumah pengasuh. Hingga saatnya aku merasa bahwa sudah tidak ada lagi peralatan yang perlu dibawa, aku pun tidak lagi bolak-balik lantai atas-bawah. Namun, santri yang berada di lantai atas, tangga hingga bawah perlu berbaris untuk melakukan estafet barang-barang dari rumah pengasuh. Yang kemudian akan disimpan di salah satu kamar yang tidak ditempati, ujung balkon, tempat jemuran, hingga salah satu kamar santri lagi.

"Nek, mau ke mana?" Aku bertanya ketika melihat Azizah berjalan bersama Dila melewati aku yang berdiri di depan kamar ke arah tangga.

"Mau pipis, Bib" jawab Azizah dengan ekspresi menahan pipisnya.

"Pipis dimana?"

"Di kolah rumah Mimi (kamar mandi pengasuh). Katanya masih bisa buat pipis disana. Kamu mau pipis gak?"

Sebenarnya sih pengen. Kebelet juga. Tapi waktu tadi liat selokan di tempat wudhu, airnya udah muncul dari selokan. "Nggak, deh. Tadi juga liat di bawah udah naik airnya."

"Ya udah deh."

Azizah dan Dila lanjut berjalan ke arah tangga dan menuruninya. Sementara aku masih terus berdiri di depan kamar menunggu barang apa lagi yang perlu diestafetkan. 

Beberapa menit kemudian, aku penasaran dengan keadaan di lantai bawah. Aku melihatnya dari balkon lantai dua. Ternyata air sudah masuk ke dalam pesantren. Menggenangi rumah pengasuh, mushola, kamar mandi hingga satu kamar santri yang berada di lantai bawah. Dan dari lantai dua pula, aku melihat Azizah mengangkat sisi bawah sarungnya agar tak sepenuhnya basah oleh air banjir. Seraya berjalan perlahan-lahan melewati air banjir yang menggenang.

"Udah, Nek pipisnya?" tanyaku pada Azizah setelah dia kembali lagi ke lantai dua.

"Udah, Bib."

Aku juga pengen pipis sih. Tapi kayaknya lagi gak memungkinkan. Rumah Mimi juga udah kemasukan air banjir.

Aku kembali menahan rasa kebelet untuk pipis. Ditahan-tahan agar tak sampai keluar 🤭. Dengan menyibukkan diri untuk terus ikut membantu teman-teman yang lain menyelamatkan barang-barang dari lantai bawah yang diestafetkan.

Sekitar pukul 00.00. Senin, 12 Maret 2018.

Sebagian santri tertidur dengan keadaan yang cukup dipaksakan. Beberapa jam yang lalu memang sedang hujan. Tapi sekarang, hujan sudah mereda. Genangan banjir pun mulai menyurut. Meski begitu, aku belum bisa terlelap sama sekali. Rasa menahan pipis itu masih ada. Dan memaksaku untuk terbangun dari kasur yang digelar sembarangan. Kemudian, aku turun ke lantai bawah yang menyisakan sisa-sisa kotoran banjir. Hingga saat aku menengok mushola, masya Allah. Genangan air sangat banyak di atas mushola yang menjorok ke bawah sekitar 30 cm. Benar-benar bagaikan sebuah kolam dalam bangunan. Ya walaupun mushola tidak memiliki luas yang sangat besar, tapi untuk menguras air sebanyak itu rasanya mustahil. Pasti lelah rasanya. Meski akhirnya, aku juga ikut terjun ke 'kolam sementara' itu untuk menguras air di dalamnya. Menggunakan alat-alat yang ada, seperti gayung, ember kecil, ember sedang dan ember besar dalam jumlah yang banyak.

TEET... TEET... TEET...

"Mba.... Bangun, Mba!!! Nguras mushola!! Gak kasian apa temen-temannya pada nguras mushola? Tapi kalian malah enak-enakan pada tidur?" Seorang santri 'senior' memencet bel kemudian berteriak sekeras-kerasnya agar didengar semua santri. Berusaha membangunkan semua santri yang tidur agar turun ke lantai bawah untuk ikut membantu menguras mushola. Dan pelan tapi pasti, satu per satu santri turun dari kamarnya masing-masing menuju mushola. Kemudian mengambil gayung atau ember kecil yang sekiranya bisa menampung air walau tak banyak.

Aku sendiri, menggunakan ember kecil untuk mengambil air di mushola. Untuk kemudian dialihkan ke ember yang lebih besar dan dibuang ke selokan tempat wudhu oleh santri lain. Tentu, tidak hanya aku. Karena dalam satu ember besar, dibutuhkan 4 - 5 orang untuk mengisinya sampai penuh. Itu pun membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Kemudian setelah itu, santri yang menunggu penuhnya ember besar segera menggusur ember itu ke luar untuk membuang isinya. Sementara aku dan teman-teman yang lain mengisi ember yang lain lagi.

Namun hebatnya, meski sedang menguras mushola, sebagian teman-temanku menganggap ini sebagai sebuah mainan sekaligus hiburan. Menguras sambil bercanda, main air, curhat, perosotan, ciprat-cipratan hingga menciptakan tawa bagi banyak orang yang melihatnya. Meski memang, rasa capek tidak dapat dihindari. Jadi sesekali kami bergantian jika ada orang yang sebelumnya tidak kebagian alat-alat dan belum membantu.

Sekitar pukul 04.00.

Air banjir yang sebelumnya menggenangi mushola hampir bersih seluruhnya. Menyisakan sisa-sisa kotoran banjir yang pastinya perlu dibersihkan. Dan sekarang, beberapa kain atau pakaian ta'ziran dijadikan lap dadakan untuk membersihkan mushola. Entah punya siapa, kalau sudah ditemukan saat darurat, langsung dijadikan lap. Haha. 

Saat itu, aku masih ada di mushola bersama Dzalfa dan mba Vina. Tapi kalau gak salah, cuma mba Vina sih yang megang lap sambil bersihin lantai. Sementara aku dan Dzalfa hanya ikut melihatnya sambil mengobrol melepas lelah. Lagipula, siapa juga sih yang gak bilang capek sehabis menguras mushola 4 jam lamanya? Pakai tenaga manusia pula. Tanpa mesin sedikit pun. Beuh... Capeknya pake banget.

Meninggalkan Dzalfa dan mba Vina, aku berjalan menuju kamar mandi yang berada di luar (bukan luar pesantren ya, duh, gimana jelasinnya ya? bingung 😂). Karena sebelumnya, aku dengar ada keran yang masih bisa mengeluarkan air bersih. Jadi aku bergegas agar aku bisa segera pipis. Hihi. Rasa pengen pipisnya masih ada juga. Dan sampai sana, aku pun meminjam ember dan gayung yang ada untuk menampung air secukupnya.

"Aku pinjem ember sama gayungnya ya? Pengen pipis."

"Ya sok, Mba."

Aku menyalakan salah satu dari lima keran yang masih bisa mengeluarkan air bersih. Menampung air secukupnya dalam ember, kemudian membawanya ke dalam salah satu kamar mandi. Akhirnya, rasa pengen pipis itu lepas juga. Lega sekali.

Hm... Kalau aku gak pengen pipis, mungkin aku sudah sempat tertidur walau sebentar tadi malam. Lalu dibangunkan dengan suara bel dan teriakan. Tapi untungnya, tidak. Setidaknya aku tak akan terlalu tertekan dengan suara bel itu. Dan fix, aku tak tertidur sama sekali malam itu. Ya, ambil hikmahnya saja.

Siang hari.

"Habibah, bangun. Udah sholat dzuhur belum?" Seseorang terdengar membangunkan dari jauh ketika aku menggeliat dari tidurku di atas lantai tanpa alas.

"Belum, Mba."

"Sholat dulu."

"Wudhunya dimana, Mba?" Aku bertanya demikian. Karena seingatku, sedari tadi pagi setelah sholat shubuh, semua keran belum bisa mengeluarkan air bersih lagi. Malah, banyak keran yang tidak mengeluarkan air sama sekali. Dan kalaupun keluar, airnya masih cukup keruh dan hanya sedikit.

"Di tempat jemuran aja dulu. Bawah seng cekung itu tuh. Mumpung hujannya gak gede. Cuma gerimis." Mba Nia, kakak kelas yang membangunkanku menunjuk tempat jemuran yang tepat berada di depan kamar kami.

Aku pun memaksakan diri untuk berdiri. Kemudian melangkah keluar kamar menuju tempat jemuran untuk berwudhu dengan air hujan.

---

21 Februari 2021.

Hampir tiga tahun berlalu, rasanya kejadian itu seperti mimpi. Tak menyangka pernah melewati fase hidup seperti itu. Mengalami kejadian banjir secara langsung dengan ketinggian kurang lebih satu meter. Tapi, itu baru di dalam pesantren. Aku kurang tahu dengan tinggi air banjir di luar pesantren. Katanya sih, sampai setinggi dada orang dewasa.

Omong-omong banjir, sebenarnya aku menulis cerita ini hanya ingin mengingatkan diri. Agar aku selalu bersyukur dengan keadaan saat ini dan tidak lagi-lagi menahan pipis 🤭.

Seperti yang kita tahu, di luar sana, beberapa daerah terkena musibah banjir. Dengan ketinggian yang bermacam-macam. Jadi aku membayangkan, aku yang saat itu kebanjiran beberapa jam saja harus mengalami kekurangan air bersih hingga 3 hari. Bagaimana dengan mereka yang kebanjiran dengan waktu yang lebih lama dan ketinggian yang lebih tinggi pula? Oleh karenanya, mari kita berdoa semoga musibah banjir yang melanda beberapa daerah tersebut segera mereda. Tanpa adanya penyakit apalagi korban jiwa. Ditambah, mari kita juga senantiasa jaga lingkungan dengan tidak membuang sampah sembarangan. Sama-sama mengingatkan 😊.

Aamiin 🤲.

Previous Post
Next Post

post written by:

2 comments:

  1. Wahhh makasih udah ditulis disini pengalaman yg sangat luar biasa aku jd mengingat nya kembali 😂.

    ReplyDelete
  2. Hihihi. Makasih loh udah mau komen 🙏

    ReplyDelete