28 February 2021

'Terselamatkan' Pandemi Corona

 November 2019.

Bib, Ali katanya mau minta nomer telpon kamu. Boleh gak?

Sebuah pesan singkat masuk di aplikasi WhatsApp. Ternyata dari Azizah, seorang teman yang seringkali aku panggil dengan sebutan 'Nenek'.

Ali? Emangnya ada apa, Nek?

Tapi, boleh aja sih.

Ada apanya mah aku juga kurang tau sih, Bib.

Ya udah deh. Gak papa kasih aja, Nek.

Oke.

Tak lama kemudian, ponselku bergetar diiringi nada yang cukup singkat. Bertanda sebuah pesan masuk di aplikasi WhatsApp. Ternyata, dari nomor yang belum dikenal. Ya, paling juga dari Ali. Siapa lagi?

Habibah

Iya. Ini Ali, ya?

Iya bener.

Yes! Tebakanku benar. Haha. Lagipula, aku sudah memperhatikan foto profil si pengirim pesan sebelumnya. Dan ada nama ‘Mustofa Ali’ di pojok kanan bawah foto profil ketika aku melihat info lebih lengkap mengenai nomor itu.

Ada apa, Ali?

Ini aku mau nawarin.

Ali menjelaskan maksudnya menghubungiku panjang lebar. Dan kami pun saling berkirim pesan cukup lama. Menanyakan hal ini-itu yang perlu diperjelas lagi. Karena ternyata, Ali menghubungiku untuk menawarkan agar aku ikut ‘melapak’ di acara pesantrennya. Berhubung, dia adalah ketua panitia. Jadi dia ikut bertugas untuk mencari orang-orang yang berjualan dan menawarkan mereka agar mau menjajakan barang dagangannya seraya meramaikan acara pesantren. Dan tentu saja, aku senang bukan kepayang mendengar tawaran itu. Karena selama tiga bulan belakangan ini aku menjadi reseller buku, penjualan buku yang aku dapat baru dua buku saja. Itu pun, pembelinya adalah satu orang yang sama. Dan pembelian buku yang kedua juga sepertinya dikarenakan ada uang sebesar Rp6.500 nyangkut di rekeningku. Gara-gara aku salah mengira-ngira ongkos kirim pada pembelian pertama.

Emang acaranya kapan, Bib?

Azizah menanyakan hal itu setelah aku memberitahukannya mengenai apa maksud Ali yang sebenarnya sampai menghubungiku.

Eh, gak tau sih, Nek.

Lalu, aku pun menanyakannya pada Ali.

Acaranya diadain kapan?

Tiga bulan lagi.

Hm... Tiga bulan lagi. Agak lama sih. Sekarang bulan November. Desember, Januari, Februari. Ya paling juga bulan Februari atau Maret kali ya?. Aku berucap pada diri sendiri setelah mengetahui balasan pesan dari Ali. Padahal jujur, aku kira acaranya akan diadakan dalam waktu dekat. Misalnya, Desember gitu? Tapi apa daya. Aku ini hanya ditawarkan. Tidak bisa mengatur seenaknya. Lagipula, sebagai ketua panitia, tidak mungkin Ali baru menawarkan orang lain untuk ikut menjajakan barang dagangannya dalam rentang waktu sebulan sebelum dilangsungkannya acara. Jadi, masuk akal jugalah. Aku masih bisa terima.

Februari 2020.

“Bib, ai kamu jualan buku teh dapetnya berapa?” tanya ibuku yang sedang menyetrika baju di ruang TV. Sedangkan aku sendiri duduk dibelakangnya sambil melipat beberapa potong baju tertentu.

“Sepuluh persen dari harga buku.”

“Emang harga bukunya berapaan gitu?”

“Lima puluh ribu ke atas. Tapi banyaknya mah sekitaran tujuh puluh sampai sembilan puluh ribuan sih.” Aku menjawab dengan sedikit ragu dan suara yang cukup pelan. Dalam hati, sebenarnya aku paling malas kalau orangtuaku membahas tentang aku yang menjadi reseller buku. Mereka selalu saja membuatku ragu. Tak perlu jadi reseller buku lagilah, harus bantuin kerjaan ayahku-lah, dan sebagainya. Lalu, pikiran dan hati ini justru memberontak bertanya-tanya. Kenapa gak boleh sih? Kenapa? Aku tuh pengen nyoba. Aku pengen banggain kalian (orangtuaku). Pengen punya penghasilan sendiri, uang sendiri. Aku pengennya, aku kerja online tanpa sepengetahuan kalian, dapet pemasukan, terus gak minta uang lagi sama kalian. Itu yang aku pengen. Tapi kenapa gak bisa?

“Berarti kalau harga bukunya enam puluh ribu, dapetnya cuma enam ribu gitu?”

“Iya.”

“Sedikit atuh, Bib.”

“Ya emang segitu. Tapi kalau nanti jualannya nambah banyak, dapetnya juga lebih banyak.” Aku membela diri. Kemudian, seterusnya ibuku menasihati agar aku lebih mementingkan pekerjaan ayahku yang harus dibantu. Sehingga secara tak langsung, aku pikir itu sama saja bahwa ibuku menyuruh aku untuk berhenti menjadi reseller buku. Tentu, bukan tanpa alasan. Karena sebelumnya, ayahku sudah seringkali menyuruh aku untuk berhenti menjadi reseller buku. Dan seseringkali itu pula, aku tak mendengarkan. Sehingga mungkin, ibuku yang terus-menerus mendengar larangan ayahku yang tak juga kudengarkan, akhirnya ikut luluh untuk menasihatiku. Dan anehnya, aku pun benar-benar luluh. Hati semakin ragu. Pikiran ingin segera melepaskan peran di suatu penerbit tempat aku menjadi reseller pun mulai muncul. Tapi, aku kembali berpikir. Karena di bulan November lalu, aku sudah sepakat dengan Ali bahwa aku akan ikut ‘melapak’ di acara pesantrennya.

Awal Maret 2020.

Kala itu, aku dan Azizah sedang duduk sambil mengobrol ringan di sekitaran pesantren tempat kami nyantri dulu. Karena di awal Maret 2020, pesantren kami mengadakan acara tahunan. Dan di sela-sela obrolan ringan itu, Azizah menanyakan padaku mengenai buku yang akan dijual di acara pesantren Ali.

“O ya, Bib. Kamu jadi nitip buku buat dijual di acara pesantrennya Ali?”

“Insya Allah jadi, Nek.”

“Bukunya udah dikirim?”

“Belum. Lagian, Ali-nya juga belum ngabarin lagi sih buat nentuin waktu pengiriman bukunya.”

“Oh.”

Aku terdiam beberapa saat setelah Azizah menanyakan hal itu. Jujur. Aku ingin sudahi. Karena kalau aku benar-benar menitipkan buku ke Ali, tak terbayangkan berapa biaya yang perlu dihabiskan. Untuk biaya satu juta, pasti kurang dari 20 buku. Belum lagi ongkos kirimnya,  antara Jogja ke Cirebon dengan muatan lebih dari 10 kg. Mungkin bisa mengabiskan biaya hingga 1,5 juta untuk itu semua. Lalu jika ternyata buku itu tidak habis terjual, tidak mungkin untuk mengembalikannya ke penerbit. Dan jelas, kemungkinan besarnya akan dikirim ke rumahku. Nambah biaya lagi deh. Terus, pasti ayahku akan bertanya-tanya mengenai buku itu. Bukunya juga disimpen dimana lagi. Rumahku kan sudah cukup penuh dengan barang-barang.

Pertengahan Maret 2020.

Ali, maaf aku mau nanya

Jari-jari tanganku mulai mengetikkan pesan di aplikasi WhatsApp. Memberanikan diri untuk bertanya hal yang sebenarnya sudah kumengerti.

Ali, nanti aku ngirim bukunya gimana ya? Aku ngirim ke kamu, terus langsung dibayar atau gimana ya?

Aku meletakkan ponsel di samping notebook yang menyala di hadapanku. Aku tahu pertanyaan itu terdengar ngaco, malah bisa dikatakan bodoh. Dan aku sendiri ragu sembari bertanya-tanya pada diri sendiri mengapa aku melakukannya.

Drrrt...

Ponselku bergetar diiringi nada dering standar WhatsApp. Panggilan WhatsApp dari Ali. 

Assalamu’alaikum.

Tanpa basa-basi, Ali menjelaskan bagaimana seharusnya aku mengirim buku-buku itu untuk dijual kembali di acara pesantrennya. Dan saat itu juga, aku merasa bahwa diri ini benar-benar bodoh. Mengapa pula aku melakukannya?

Kalau dikirim sekarang-sekarangan, gimana?

Aku bertanya demikian. Lantaran, penerbit tempat aku menjadi reseller itu sedang mengadakan promo besar-besaran. Setidaknya, mungkin aku bisa menghemat sedikit biaya dengan promo itu.

Jangan dulu. Disini lagi sibuk.

Awal April 2020.

Aku membuka aplikasi WhatsApp. Membuka pesan-pesan grup yang belum terbaca juga membuka status-status teman WhatsApp yang kusimpan kontaknya. Salah satunya, status WhatsApp Ali.

Di status WhatsApp Ali, terlihat gambar surat pemberitahuan resmi dari pesantren yang isinya mengenai penundaan acara pesantren akibat merebaknya pandemi covid 19 di Indonesia. Dan untuk memastikannya, aku langsung bertanya pada Ali.

Ali, acaranya beneran ditunda?

Iya, Habibah.

Soalnya masih covid gini. Jadi acaranya belum bisa diadain sekarang.

Oh.. iya sih. Terus, kapan dong acaranya?

Kurang tau. Nanti liat sikon lagi.

Penjualan buku juga gak jadi ya, Bib. Maaf nih. 

Ya, gapapa kok.

Senyumanku mengembang. Lega sekali rasanya setelah mendengar kepastian bahwa pengiriman buku itu tidak jadi dilakukan. Lega.... Selega-leganya. Jadi, aku tak perlu memusingkan lagi hal ini. Sudah fix. Masih pandemi. Kecil kemungkinan kalau acara itu akan tetap dilangsungkan.

28 Februari 2021.

Hari ini. Hampir setahun setelah kejadian itu. Saat-saat dimana aku merasa galau sendiri, bingung sendiri, menanggung masalah sendiri seputar penjualan buku, hingga galau karena ingin melepaskan namun terikat kesepakatan. Kemudian setelahnya, berpikir bahwa aku sudah melewatkan waktu dengan sia-sia, karena berjualan buku namun untung yang aku dapatkan tidak sampai Rp50.000. Hm, jalankan Rp50.000, Rp25.000 saja tidak! Bayangkan. Dalam waktu 8 bulan, untung yang aku dapatkan hanya Rp9.000 saja. Itupun hasil dari penjualan pertama dan kedua. Jauh sekali dengan modal yang aku keluarkan untuk membeli kuota per bulan. Atau malah, terkadang aku membeli kuota lebih dari sekali dalam satu bulan. Walaupun, ya aku tahu. Itu bukan uangku. Tapi uang orang tuaku.

Sepanjang waktu ketika aku menjadi reseller, sebenarnya orang tuaku juga ikut pusing. Ikut pusing karena kuotaku sering kehabisan di pertengahan bulan. Padahal, aku main media sosial sewajarnya. Facebook, WhatsApp, Telegram dan Instagram. Malah karena ‘katanya’ instagram mengambil kuota lebih banyak, aku sampai melepas instagram dari keseharian. Tapi, baik-baik aja sih. Karena aku tak terlalu sering post di instagram.

Tapi, ada yang tidak kuberitahu. Yaitu, bahwa sebenarnya aku sering membuka google drive dan mengunduh banyak foto dari sana ke galeri. Aku pikir itu tidak akan mengambil kuota data begitu banyak. Jadi aku rasa, tidak dikatakan pun tidak apa. Namun berapa bulan kemudian, aku baru tahu bahwa membuka google drive dan mengunduh foto dari sana memakan banyak kuota! Ya. Itu kesalahanku. Dan ada alasan lain mengapa aku tidak memberitahu bahwa aku sering membuka google drive. Yaitu, karena aku membuka google drive untuk melihat katalog buku dari penerbit dan mengunduh buku untuk diupload kembali sebagai sarana promosi. Jelas saja. Karena jika aku memberitahu bahwa aku membuka google drive untuk itu, mungkin aku akan dimarahi dan semakin dilarang untuk menjadi reseller. Fyuh, nanggung sendiri kan jadinya. 

Tapi, akhirnya aku memang benar-benar ‘lepas’ dari posisi reseller. Sesuai kesepakatan awal. Bahwa reseller yang tidak memiliki penjualan buku dalam rentang waktu 3 bulan berturut-turut, maka akan dilepas dari posisinya sebagai reseller. Dan aku pun begitu. Setelah 3 bulan berturut-turut, bahkan lebih, menjadi reseller tanpa satu pun penjualan, aku dilepas dari posisi reseller. Tepatnya, beberapa minggu setelah Ali memastikan bahwa penitipan penjualan buku itu tidak jadi dilakukan. Yah, aku ikhlas. Ini salahku. Ulahku. Tanggung jawabku.

Akibat jadi reseller tapi tanpa restu dari orang tua, akhirnya aku menyimpulkan bahwa kejadian itu adalah sebuah teguran. Atau mungkin, aku memang kurang berjuang. Kurang berdoa. Kurang ikhlas. Kurang ‘benar’ melaksanakannya. Kurang ‘benar’ niatnya. Dan segala kurang-kurang yang ada. Lagipula, jika ditilik lagi ketika aku mendaftarkan diri menjadi reseller, sebenarnya aku mengincar sistem afiliasi dari penerbit itu. Bukan sistem resellernya. Dan ternyata, sistem afiliasi itu sudah tidak lagi aktif ketika aku menanyakan di akhir-akhir waktu aku menjadi reseller. Jadi, ambil hikmahnya aja.

Hei, apa hikmah cerita ini?

  • Di balik pandemi yang melanda, aku diuntungkan karena tidak jadi menitipkan buku untuk dijual lagi di acara pesantren Ali.
  • Mulailah berbisnis, disertai restu/ridho/dukungan dari orang tua. Insya Allah berkah 😊.


Previous Post
Next Post

post written by:

0 Comments: