07 February 2021

Kenapa Suka Menulis?

Jika aku ditanya kenapa aku suka menulis, maka sebenarnya aku pun bingung untuk menjawabnya. Tapi jika aku ditanya dari mana kesenangan ini bermula, maka aku punya jawaban yang luas. Jawaban yang tak pernah aku duga sebelumnya.

Kala itu, kira-kira aku masih duduk di kelas lima atau enam SD. Aku belum suka membaca. Apalagi menulis. Kecuali, untuk pelajaran di sekolah/madrasah yang tentu harus dilakukan. Haha. Memang begitu bukan?

Suatu hari, Salsa -sepupu seusiaku- menawarkan aku untuk membaca buku-buku bacaan miliknya. Tapi, aku juga tidak tahu kenapa dia tiba-tiba menawarkan. Mungkin, tawaran itu berawal ketika aku bermain ke rumahnya. Karena memang semasa SD, kami seringkali mengunjungi rumah satu sama lain. Kami kan saudara sepupu. Rumah kami juga tak terlalu berjauhan. Tak perlu berkendara sepeda motor untuk ke rumahnya. Dan ketika Salsa menawarkan, aku pun mengiyakan. Mencoba membaca salah satu buku miliknya. Tentu, bukan buku dengan ketebalan 300 halaman. Masih buku-buku sederhana untuk anak seusia aku dan Salsa yang masih 11 tahun. Seperti buku-buku CCPK (Cilik-Cilik Punya Karya), KKPK (Kecil-Kecil Punya Karya) dan Pinkberry.

Setelah menerima tawaran untuk membaca salah satu buku milik Salsa, beberapa minggu kemudian aku meminjam buku lainnya ke rumah. Aku ketagihan. Ingin membaca lagi. Tapi, aku lupa apa judul buku yang aku pinjam. Dan buku itu pun habis dibaca olehku dalam beberapa jam saja di siang hari. Inginnya, aku membaca buku lain lagi. Sayang, aku hanya meminjam satu buku. Mulai dari situ, aku memohon pada orang tuaku untuk membeli buku yang semacam dengan buku milik Salsa. Hingga akhirnya, aku pun membeli buku bacaan pertama yang berjudul The Story in Coffee Cafe karya Haldhianty Fitri yang kubeli di bazar mizan. Karena kebetulan, Mizan sempat mengadakan bazar sederhana di halaman Masjid Agung Ujungberung untuk beberapa hari.

-

Jauh setelah hari itu, tepatnya ketika liburan pesantren, aku, Teteh, Salsa, Nida dan Rahma (sepupu² yang berusia tak jauh dariku) pergi ke Mizan. Karena katanya, sedang ada bazar untuk berbagai buku. Dan kami pun bersepakat untuk pergi ke Mizan hari itu. Sampai di sana, ternyata benar. Beberapa tenda berdiri dengan banyaknya rak yang diisi deretan buku beraneka macam. Jadi, kami hanya memilih-milih buku di luar. Tidak masuk ke dalam gedung. Dan ketika memilih-milih buku, aku tak menyangka karena harga yang ditawarkan dalam bazar itu sangat murah. Mulai dari Rp7.500 - Rp35.000 untuk buku CCPK, KKPK dan Pinkberry. Sedangkan untuk buku-buku dewasa, aku tak meliriknya. Belum tertarik. Hehe 😂.

Beberapa jam kemudian, kami sudah memilih buku yang akan dibeli masing-masing. Aku membeli buku berjudul Fotografer Cilik dan 24 Hours Stay at School. Sedangkan yang lainnya, aku lupa lagi. Tapi aku ingat saat itu Salsa membeli buku berjudul Rio de Renairo. Karena setelah membeli buku itu, Salsa bercerita bahwa ia membawa bukunya ke pesantren lalu terkena razia hingga akhirnya dirampas. Duh, sayang sekali bukunya.

-

Seiring berjalannya waktu, aku juga mulai tertarik untuk menjadi seorang penulis. Karena dalam banyak buku bacaan yang pernah kubaca, hampir selalu ada tawaran beserta persyaratan-persyaratan untuk mengirim naskah. Terlebih di buku-buku Pinkberry, ada pengantar penerbit yang memotivasi pembaca untuk ikut menulis buku. Jadi, aku ikut termotivasi juga untuk menulis buku. Ingiiin sekali. Kemudian di kelas tujuh, aku juga menjadikan 'penulis' sebagai cita-citaku. Aku ingat. Ketika aku dan teman-teman belajar bahasa Inggris dibimbing kakak-kakak PPL, kami disuruh untuk menyebutkan cita-cita menggunakan bahasa Inggris. Dan saat itu aku tidak tahu terjemah bahasa Inggris dari kata 'penulis'. Sehingga aku bertanya pada seorang kakak PPL, Kak Faisal. Lalu Kak Faisal memberitahukan bahwa terjemah kata 'penulis' dalam bahasa Inggris adalah 'writer'.

Selain mengatakan bahwa aku bercita-cita menjadi penulis dalam pelajaran bahasa Inggris, aku juga menulis cita-citaku menjadi penulis di sebuah buku diary kecil. Bahkan, di situ juga aku menulis bahwa aku ingin menjadi penulis seperti Raditya Dika dan Asma Nadia. Tapi setelah sekarang dipikir-pikir lagi, aku juga heran kenapa saat itu aku bercita-cita menjadi penulis seperti Raditya Dika dan Asma Nadia. Padahal, aku tak pernah membaca satu pun buku karya mereka. Haha. Salah satu hal yang lucu untuk dipikirkan sekarang. Tapi, sudahlah. Anggap saja semoga, karya-karyaku kelak ikut sukses seperti karya-karya mereka.

-

28 Agustus 2020, seperti biasanya mimi menyalakan TV di rumah untuk menonton Islam itu Indah. Lalu setelah acara Islam itu Indah selesai, Insert menyapa dengan kabar duka. Tampak di layar televisi, tayangan proses pemakaman yang sedang berlangsung silih berganti dengan beberapa foto seorang lelaki yang masih cukup muda. Dan dari suara voice over yang kudengar dan tulisan di layar, barulah aku mengerti bahwa seorang lelaki yang meninggal tersebut adalah almarhum Barli Asmara, seorang desainer yang terkenal dan baik hati di Indonesia. Aku sendiri tak pernah mengenalinya. Mendengar namanya saja tidak pernah. Baru saat itu. Tapi aku tetap menyimak kabar yang disiarkan mengenai sosok Barli Asmara dan perjalanan karirnya. Dan dari suara voice over, aku mengetahui bahwa sosok Barli Asmara adalah seseorang yang sangat bersemangat untuk menggapai cita-citanya sebagai desainer. Dimana Barli Asmara sendiri ternyata sudah bercita-cita menjadi seorang desainer ketika dia masih duduk di bangku SMP. Bahkan, almarhum juga ternyata pernah menulis dan berhasil menerbitkan sebuah buku tentang perjalanan karirnya. Lalu aku bertanya pada diriku sendiri. Cita-cita aku dari MTs, apa ya?

Previous Post
Next Post

post written by:

0 Comments: