02 May 2021

Selamat Tinggal

Kurang lebih, tanggal 26 atau 28 Mei 2019 M. Beberapa hari sebelum hari raya Idul Fitri 1440 H.

Aku terbangun di pagi hari. Di sebuah bangunan yang telah aku tempati selama beberapa tahun belakangan ini. Ruangan yang dihiasi lemari susun di ketiga sisi dinding, perlengkapan tidur yang berserakan di lantai, sudah menjadi pemandangan biasa bagi para santri, termasuk aku.

Setelah bangun, aku bergegas mandi, berwudu dan melaksanakan salat subuh. Kemudian, merapikan isi dari dua buah tas yang akan dibawa pulang hari ini. Didalamnya, ada pakaian, mukena, Al-Qur'an, alat tulis sampai alat rias. Tak lupa juga, selimut yang baru dipakai semalam.

Sepertinya, aku adalah santri pertama yang akan keluar pesantren sepagi ini. Masih pukul enam lewat beberapa menit. Karena sebagian santri yang sudah melaksanakan salat subuh saja, justru tertidur lagi di kamar masing-masing. Tidak seperti hari kemarin yang langsung dijadwalkan untuk mengikuti ngaji pasaran dengan kitab kuning Tibyan. Baiklah. Mungkin, kali ini mereka ingin mengistirahatkan diri sebelum akhirnya berkemas untuk pulang ke rumah masing-masing di siang hari. Sama sepertiku. Hanya saja, aku ingin pulang lebih dulu dibanding mereka.

"Mba, Mba Bibah pengen balik tah? (Mba Bibah mau pulang?)"

"Iya."

Aku menjumpai dua orang santri yang lebih muda dariku di sebuah kursi panjang dekat pintu keluar-masuk pesantren. Sebelumnya, mereka terlihat tengah asyik mengobrol menikmati udara pagi. Dan santri yang sebelumnya bertanya padaku, adalah Hawa.

"Mau lewat maqbaroh tah, Mba? Hawa temenin ya?"

"Boleh."

Aku mengenakan sepasang sandal yang sudah dibawa dari lantai dua, letak kamar yang aku tempati sebelumnya.

"Aku juga ikut dong, Mba." Santri yang lain lagi ikut bicara, namanya Hani.

"Ayo, Han. Gak papa. Udah boleh keluar ini kan?"

"Bolehlah, Mba. Masa udah waktu liburan gini masih gak boleh keluar aja."

"Haha. Ya sugan weh. (Barangkali saja.)"

Aku menjinjing sebuah tas yang agak besar dengan tangan kanan. Sedangkan tas yang satu lagi, adalah tas gendong yang digendong di pundak.

"Sini, Mba. Tasnya biarin Hawa yang bawa."

Hawa tiba-tiba ingin merebut tas jinjing dari tanganku.

"Eh jangan!"

"Biarin, Mba. Kan lumayan dari sini ke maqbaroh juga agak jauh."

"Iya ya, Hawa. Sini barengan sama aku bawanya. Jadi Mba Bibah bawanya tas gendong aja."

"Ih kok gitu sih, Hani? Hawa? Ngerepotin gak?"

"Nggak, Mba Bibah. Udah biarin kita aja yang bawa."

"Lah, ya udah deh. Makasih ya."

"Santai aja, Mba."

Baca juga :

Aku mulai berjalan keluar dari gerbang pesantren setelah berpamitan pada teman-teman sebelumnya. Sedangkan kepada pengasuh, aku sudah berpamitan di malam harinya. Agar tak mengganggu istirahat beliau di pagi hari dengan izin pamit dari seorang santri yang telah resmi boyong ini.

"Mba Bibah pulangnya langsung ke Bandung?" Hawa memulai obrolan di pertengahan jalan.

"Iya."

"Gak ke... sana dulu tah, Mba? Apa namanya? Rumah mba Nafis tuh?" tanya Hani.

"Nggaklah, Mba Hani. Orang mba Nafisnya aja tadi masih ada di pondok jeh." Hawa menjawab mewakiliku.

"Oh iya ya. Tadi ada mba Nafis ya? Aku lupa, Mba Bibah. Tapi ya kali aja ke sana dulu gitu."

"Haha. Nggak, Han. Aku pulangnya langsung ke rumah, ke Bandung."

"Naik apa Mba ke Bandung?"

"Apa aja deh. Kalau ada bus, ya alhamdulillah. Kalau ada elf, ya gak papa. Tapi, bus mah lagi susah sih. Jadi lebih sering naik elf."

"Ongkosnya mahalan mana, Mba? Bus atau elf?"

"Bus-lah. Soalnya kalau bus mah harus lima puluh ribu atau lebih. Tapi kalau elf kan, kadang bisa nawar gitu. Tapi, rata-rata lima puluh ribu sih."

"Iih... Tapi kan, enakan mah enakan naik bus ya, Mba?"

"Iyalah, Wa. Udah mah ada AC-nya, duduknya enak, gak dioper-oper lagi."

"Emang kalau naik elf, sering dioper tah, Mba?"

"Banget. Sering... banget, Han. Tapi ya, jadi udah biasa sih. Cuma kan, nyebelin gitu. Apalagi kalau bawaannya banyak."

"Mba-Mba, maaf, Mba. Ini mau pulang ya?"

Kali ini, bukan Hawa atau Hani yang berbicara. Tapi seorang santri putra yang jauh lebih tua dengan kalung kamera SLR di lehernya.

"Iya, Kang." Bukan sekadar pulang sih. Tapi udah boyong dari pesantren.

"Boleh minta waktunya sebentar, Mba? Untuk pemotretan arsip lensa Babakan. Nanti Mba sama temen-temennya jalan aja seperti biasa sambil ngobrol-ngobrol. Terus kami foto Mba-nya pakai foto candid gitu. Bisa?"

"Jangan Mba jangan. Hawanya malu," pinta Hawa.

Aku menimang-nimang. Iya atau nggak ya?

"Maaf, Kang. Lagi buru-buru," jawabku sopan. Meski sebenarnya, agak kepengen juga sih. Tapi gak usah maksalah.

"Baik, Mba. Mohon maaf mengganggu."

Santri putra itu mundur kembali ke tempat menunggu yang sudah ditempati sebelumnya. Sedangkan aku, Hawa dan Hani melanjutkan perjalanan menuju maqbaroh. Disebut maqbaroh, karena di kanan-kiri jalannya terdapat banyak makam. Termasuk diantaranya, makam masyayikh Babakan dan keturunannya. Lalu setelah maqbaroh dilewati, barulah berjumpa dengan jalan raya. Tempat para santri yang akan pulang tanpa dijemput menggunakan kendaraan mencari mobil dengan tujuan ke arah tempat tinggalnya.

"Nyebrang ya, Mba Bibah?"

"Iya."

Kami menyeberangi jalan raya.

"Mba Hani, nanti pulang ke pondoknya lewat kasab aja ya?"

"Kenapa gitu, Wa?" Aku ikut penasaran.

"Hawa-e isin Mba lewat maqbaroh sih. Bokat ana santri putra maning. (Hawanya malu Mba lewat maqbaroh sih. Barangkali ada santri putra lagi.)"

"Iya, Wa iya. Tapi nanti muter dong?" Akhirnya Hani menjawab.

"Biarin, Mba Hani. Itung-itung lama-lamain keluar. Kan bosen di pondok terus."

Tak lama kemudian, sebuah mobil elf dengan jurusan Bandung - Cirebon terlihat dari kejauhan.

"Hawa, Hani, itu kayaknya jurusan Bandung deh."

"Oh iya, Mba. Tapi biarin naik elf aja?"

"Biarinlah. Daripada nungguin lama."

Mobil elf yang dimaksud semakin mendekat.

"Hati-hati ya, Mba Bibah."

"Iya, Wa, Han. Makasih ya."

Kami bersalaman. Kemudian, aku pun segera menaiki mobil elf setelah mobil elf benar-benar berhenti. Membawa tas gendong di pundak dan tas jinjing yang sebelumnya dibawakan Hawa dan Hani. Seiring dengan mobil elf yang mulai melaju, aku segera mencari posisi duduk yang cukup nyaman di salah satu bangku yang kosong.

Babakan. Gak kerasa udah hampir enam tahun aja aku tinggal disana. Dari aku yang masih gak mengerti apa-apa, sampai aku yang sekarang namun masih juga banyak gak taunya.

Selamat tinggal, Babakan. Sampai jumpa di lain waktu, walau entah kapan tepatnya.

Previous Post
Next Post

post written by:

0 Comments: