28 March 2021

Ketika Kata Menjadi Nyata

Kamu tentu sudah tak asing dengan peribahasa seperti ini : Mulutmu, Harimaumu. Peribahasa tersebut bermaksud agar seseorang senantiasa berhati-hati dalam berbicara. Atau maksud dalam aplikasi KBBI, yaitu 'keselamatan dan harga diri kita bergantung pada perkataan diri sendiri'. Karena apa yang diucapkan, bisa berpengaruh pada diri kita di masa depan. Atau dengan kata lain, ucapan adalah doa.

Namun, apakah yang menjadi doa hanya dari ucapan?

Sepertinya tidak. Itu menurutku.

Beberapa tahun lalu, aku membuka sebuah buku bacaan milik teh Empit di kamarnya. Dan di halaman ke sekian, aku menemukan fakta bahwa sebelum tertabraknya kapal Titanic, terdapat sebuah cerita fiksi yang menceritakan tentang sebuah kapal tertabrak gunung es dengan nama kapal Titan. Yang setelah aku tengok lagi beberapa minggu lalu, ternyata persisnya kalimat fakta itu seperti berikut : 

Fakta tentang Titanic

Buku yang mengutip fakta tentang Titanic

Pertama membaca, aku hanya menanggapinya biasa saja. Seperti tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun, tanggapan biasa itu justru berubah sejak beberapa bulan yang lalu. Menjadi agak mencemaskan.

Jika kamu mengikuti blogku ini atau berteman denganku di facebook, mungkin kamu pernah membaca sebuah postinganku yang diberi judul 'Adegan vs Kenyataan (Di Balik Kematian Ashraf Sinclair)'. Di postingan itu, aku berpendapat apa adanya. Seperti yang aku lihat, baca, dan dengar. Dihubungkan pula dengan sebuah fakta yang aku ketahui. Dan setelah selesai ditulis, barulah dibagikan di salah satu akun facebook-ku.

-

Beberapa bulan berlalu, semuanya berjalan baik-baik saja. Hingga akhirnya di bulan Juli, dampak itu mulai terasa.

Ibuku bercerita bahwa beliau mendapat kabar dari teman-temannya di pasar mengenai alasan mengapa alun-alun ditutup. Katanya, ada seorang pria yang pingsan di alun-alun dan disangka terpapar virus covid 19. Padahal, ternyata pria itu baru saja minum beberapa jenis minuman bersoda (mungkin dicampur atau bagaimana). Yah, kamu tau sendirilah. Di masa-masa awal pandemi covid 19, apa-apa dianggap covid. Batuk sedikit, dijauhin. Bersin sekali, dijauhin. Atau pingsan, dianggap covid juga. Sampai-sampai aku sendiri pernah menonton berita di TV mengenai seorang pria yang pingsan di pinggir jalan. Dan warga sekitar mengira pria itu terpapar covid 19. Sampai memanggil tim medis berpakaian APD lengkap pula. Tapi ternyata, pria itu baru saja putus cinta. Duh, kan gak lucu.

Oke, berlanjut ke ceritaku.

Setelah mendengar cerita dari ibuku - Mimi -, aku menuliskannya di ponsel untuk kemudian dipublikasikan di Kompasiana. Dan aku juga sempat pergi ke alun-alun keesokan harinya. Menengok alun-alun yang ternyata benar-benar ditutup dengan kayu dan tali yang terpasang di sekelilingnya. Kemudian memotretnya dari salah satu sisi untuk dijadikan pelengkap tulisan di Kompasiana.

Cekrek!

Beberapa hari berlalu, hingga tibalah hari itu. Hari di mana aku sendiri yang tertidur di alun-alun setelah berolahraga dan merasa begitu lelah dengan nafas yang tidak teratur. Kepala pening. Mata buram. Nafas sesak. Hingga aku benar-benar tidak mampu untuk berdiri sekalipun (cerita selengkapnya, ada di sini ya). Dan setelah kejadian itu, aku merasa bahwa itu adalah sebuah karma, mungkin? Karena aku membicarakan seseorang lewat tulisan? Ya entahlah. Aku tidak mengerti.

Kemudian, tidak jauh dari hari itu. Aku mengalami hal yang membuat rasa cemasku bertambah.

Di hari berlangsungnya UM-PTKIN, teh Empit mengetuk pintu rumah yang dikunci. Sedangkan aku sendiri sedang ujian di dalam kamar. Sengaja mengunci pintu rumah agar tidak ada yang mengganggu. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Karena ternyata, teteh yang baru tiba setelah bepergian tidak membawa kunci rumah. Dan kejadian itu mengingatkan aku yang menulis mengenai enak dan tidak enaknya UM-PTKIN daring tahun 2020 di Kompasiana. Karena di tulisan itu, aku menulis salah satu kelemahan UM-PTKIN daring yang tak lain adalah ketukan pintu rumah dari tamu atau anggota keluarga ketika sedang berlangsungnya ujian. Beuh! Aku menjadi galau sendiri ketika mengingatnya. Kenapa pula benar terjadi?

Tapi ya, sudahlah. Pada akhirnya, walau aku memang tidak lolos UM-PTKIN, aku tidak menyalahkan teteh sepenuhnya. Salahku sendiri tidak kompromi dulu ke keluarga. Dan mungkin, aku yang 'kurang' berjuangnya.

-

Setelah beberapa kejadian itu, aku menjadi lebih berpikir berulang kali ketika ingin menulis sebuah tulisan, terlebih cerita fiksi. Agak cemas-cemas gitu. Ya meskipun, memang jarang sih. Imajinasiku juga gak luas-luas amat. Tapi ya, untuk menulis cerita fiksi, seringkali aku dibayang-bayangi kalimat 'takut benar kejadian'. Ditambah lagi, dari beberapa adegan atau alur cerita dari film dan sinetron yang aku tonton, ada yang benar kejadian sampai dunia nyatanya. Di cerita filmnya cerai, eh di dunia nyatanya juga cerai. Di cerita filmnya nikah, eh di dunia nyatanya nikah juga. Di cerita filmnya meninggal, eh innaalillaahi wa inna ilaihi rooji'un, gak lama setelah itu meninggal juga. 😭 

Tapi... lama-kelamaan aku juga sadar kok bahwa gak semua adegan dalam film itu bisa menjadi kenyataan. Ya kalau benar kejadian, itu sih mungkin memang sudah takdirnya. Kebetulan, pas sama tokoh yang pernah diperankan. Karena jika semua aktor/aktris dibayang-bayangi dengan fakta semacam itu, mungkin mereka juga akan menolak pekerjaannya. Masa iya sih ada aktor yang mau memerankan tokoh bernasib buruk jika ia tau bahwa hal itu pasti menimpa dirinya? Kan kemungkinan besarnya, gak ada yang mau. Iya gak sih?

Begitu pula, dengan aku dan hobi menulisku. Karena jika aku terus-terusan berpikir 'takut benar kejadian', kapan menulisnya? Toh setidaknya, kita yang jadi penulis atau katakanlah pengarang cerita, bisa mengarang cerita sebaik mungkin tanpa risiko yang terlalu buruk jika kebetulan kejadian di dunia nyata. Atau jika bukan menulis cerita, kita bisa menulis kalimat-kalimat positif yang setidaknya bisa meminimalisir kerugian pada diri kita sendiri. Dan jika memang tanpa sadar kita menulis hal yang agak buruk dan kebetulan kejadian, itu berarti sudah takdirnya. Yah, gitu sajalah.

Kesimpulan : 

Menurutku, apa yang terjadi di kemudian hari tidak hanya dipengaruhi oleh ucapan di hari ini. Bisa juga dari tulisan, pemikiran yang tidak diucapkan, adegan peran, lagu atau mungkin saja lukisan. Tapi sayangnya, kita sendiri tidak bisa meramal atau mengetahui apa yang akan terjadi. Dan hanya perlu menjalani apa yang harus dijalani. 

Misalnya, ketika aku sedang menulis tentang UM-PTKIN daring di tahun kemarin. Ya aku menulis sesuai apa yang aku pikirkan selama itu baik-baik saja. Tidak pernah mengira bahwa tulisan itu akan menjadi kenyataan. Meski pada akhirnya, aku menyadari bahwa tulisan itu benar-benar terjadi di dunia nyata.

Atau, contoh lainnya seperti ini. Ketika seorang aktor ingin memerankan tokoh di sebuah film, aktor tersebut pastilah harus mengikuti adegan seperti yang sudah dirancang pada skenario. Tanpa berpikir bahwa adegan tersebut akan dialami dirinya sendiri di dunia nyata dengan cerita yang tidak jauh berbeda. Meski pada akhirnya, adegan tersebut dialaminya juga.

Lalu, sebaiknya harus bagaimana?

Ini sebuah nasihat untuk mengingatkan diriku sendiri dan siapapun yang membaca ini :

Kita memang tidak bisa mengetahui apa yang akan terjadi di masa mendatang. Jadi sebaiknya, kita tetap berpikiran, berkata, bersikap dan menulis hal-hal yang positif saja ya. Tapi, jangan berlebihan juga. Sekadarnya saja.


~ tumben bijak 😂


Wallahu'alam

Previous Post
Next Post

post written by:

0 Comments: